Mohon tunggu...
Agus Sutisna
Agus Sutisna Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Dosen | Pegiat Sosial | Menulis berharap ridho Allah dan manfaat bagi sesama.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

"Khutbah" Megawati: Ujian bagi Jokowi, Teguran Juga bagi Dirinya

20 Januari 2024   16:40 Diperbarui: 20 Januari 2024   17:07 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di tengah persaingan elektoral yang terus memanas, Megawati kembali memberikan tawsiyah politik.

"Memang kuasa itu enak kok. Tetapi kan ibu udah suruh berhenti ya berhenti. Lupa daratan. Ayoo, makanya itu cobaan, jangan lupa, ini khutbah lagi..." demikian Megawati "berkhotbah" di antara kata sambutannya di hadapan jemaat perayaan Natal bersama PDIP di JIExpo Kemayoran Jakarta, Kamis 18 Januari lalu.

Dengan nada yang kemudian ngegas ia melanjutkan khutbahnya, "Mengapa ada orang-orang yang karena beringin kekuasaan tetap langgeng sehingga melupakan hal-hal yang sebenarnya tidak boleh dilakukan oleh siapa saja." (KompasTv, 19 Januari 2024).

Pesan untuk Jokowi 

Siapa yang dimaksud Megawati sebagai "orang-orang yang demi melanggengkan kekuasaan terus melupakan hal-hal yang dilarang?" Publik pasti sudah faham. Meski tidak menyebut secara eksplisit, yang dimaksud Mega nampaknya adalah Jokowi dan kroni politiknya (keluarga dan elit-elit parpol pendukung manuver-manuver politiknya).

Tapi sebagai sebuah tawsiyah, tentu saja khutbah Megawati bisa direspon dan difahami secara umum. Artinya berlaku bagi siapapun. Ini tawsiyah moral yang baik, khutbah politik yang bijak. Dengan demikian, tawsiyah ini juga bisa berlaku untuk dirinya sendiri. Ingat filosofi klasik kala seseorang memberi nasihat atau arahan pada orang lain. Bahwa "ketika satu jari telunjuk mengarah ke depan, ada empat jari lain menunjuk pada diri sendiri."

Dari materi sambutan itu nampak jelas dan lugas, Megawati masih terus memendam (dan mungkin akan tersimpan selamanya di memori pribadinya) kekecewaan dan amarah atas apa yang sudah terjadi terkait pencalonan Gibran sebagai Cawapres  yang dilakukan melalui "pintu masuk" putusan MK Nomor 90 yang terbukti kemudian ada pelanggaran etik dalam proses peradilannya. Cara nir-adab yang sesungguhnya tidak boleh dilakukan oleh siapapun itu ditempuh demi upaya melanggengkan kekuasaan.

Kira-kira itulah substansi pesan yang berada di belakang khutbah Megawati, yang sudah beberapa kali ia ungkapkan di hadapan publik. Salah satunya pernah saya tulis di kompasiana edisi 30 November 2023 lalu. 

Belakangan kekecewaan dan amarah Megawati mungkin makin terakumulasi mengingat sejumlah peristiwa dan kejadian di masa kampanye yang memperlihatkan secara terbuka keberpihakan Jokowi dan para pembantunya di kabinet serta berbagai indikasi adanya ketidaknetralan aparatur negara dan pemerintah kepada Prabowo-Gibran. Dalam konteks ini, kekecewaan dan amarah Megawati tentu bisa difahami. Karena sejatinya kita semua ingin Pemilu ini berlangsung jurdil dan berintegritas.

Bahwa UU membolehkan Presiden, Wapres dan para Menteri boleh mendukung dan berkampanye untuk Paslon Capres-Cawapres memang tidak keliru. Tapi cara dan bentuknya harus clear. Dan salah satu yang terpenting adalah tidak dengan menyalahgunakan kewenangan atau kekuasaan serta tidak menggunakan fasilitas negara dan pemerintah, baik itu sumberdaya manusia (aparatur), kebijakan, anggaran maupun fasilitas kepejabatan lainnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun