Namun demikian, secara umum hasil semua lembaga survei (kecuali survei yang dilakukan secara internal oleh Paslon) masih menunjukkan Prabowo-Gibran unggul di kisaran angka 40-45%. Hanya saja, semua lembaga survei juga menduga bahwa Pilpres potensial akan berlangsung dua putaran. Dan Anies-Cak Imin, merujuk pada tren kenaikan elektabilitasnya diprediksi menjadi bakal lawan Prabowo-Gibran di putaran kedua.
Kembali ke rilis Bloomberg. Survei yang dilakukan Bloomberg bukanlah survei kuantitatif atau serupa polling yang dlakukan lembaga-lembaga survei. Survei ini nampaknya lebih merupakan studi kritis kualitatif melalui metode wawancara mendalam (depth interview) yang dilakukan Bloomberg dengan para ekonomi dan analis pasar.
Hanya saja, entah di ujung atau di tengah depth interview itu, Bloomberg kemudian memberikan pertanyaan kunci : siapa di antara tiga Paslon yang dianggap paling kompeten dan cakap untuk menggantikan Jokowi. Sekali lagi, ini sekedar dugaan, karena dalam artikelnya tidak ada penjelasan memadai bagaimana survei itu dilakukan.
Namun demikian, survei itu tetap kredibel karena yang menjadi responden atau narasumbernya adalah pakar-pakar yang kompeten dan memiliki otoritas kepakaran yang tinggi di bidangnya. Dengan begitu hasil survei ini dapat dianggap merupakan penguatan konfirmatif terhadap (atau setidaknya memiliki relevansi yang kuat dengan) tren kenaikan elektabilitas Anies-Cak Imin.
Fenomena "Disruptif" Kampanye Anies
Satu lagi fenomena menarik, yang boleh jadi bersitemali dengan tren kenaikan elektabilitas Anies-Cak Imin adalah terkait kampanye Anies-Cak Imin. Berbeda dengan dua Paslon lawannya, Anies mempromosikan cara baru berkampanye yang terbukti kemudian dinilai efektif. Yakni "Desak Anies" dan "Live di platform media sosial".
Live di medsos, Anies memang bukan yang pertama. Ganjar dan Gibran sudah lebih dulu menggunakan media sosial sebagai sarana menyosialisasikan diri kepada publik, terutama dengan target sasaran Gen Z dan kalangan milenial. Belakangan Profesor Mahfud juga melakukan hal yang sama. Â Â
Tetapi berbeda dengan yang lain, Anies melakukannya dengan cara yang lebih natural, terbuka, apa adanya. Dan yang lebih menarik Anies menjadikan media sosial itu sebagai ruang diskusi untuk membahas berbagai isu-isu (dari yang serius dan berat hingga ke persoalan keseharian anak muda) yang dilakukan dengan gaya santai, humanis dan familiar. Viralnya sapaan "Abah Anies" di kalangan Gen Z dan milenial belakangan nampaknya muncul pertama kali dari program live ini.
Sementara "Desak Anies" adalah murni dan otentik merupakan ide Anies dan hanya Anies yang melakukannya sebagai cara berkampanye. Program ini diapresiasi banyak kalangan sebagai model terobosan dalam kampanye, yang selama ini terkesan kelewat formal, kaku, sarat aura rekayasa dan nuansa mobilisasi, serta kurang partisipatif. Â Â Â
Dalam "Desak Anies" seperti bisa disaksikan dalam tayangan-tayangan di medsos, suasana kegiatan sangat terbuka dan natural. Para peserta yang hadir bukan saja bisa bertanya tentang visi misi dan program. Tetapi juga bisa menyampaikan kritik dengan tajam dan bebas kepada Anies. Janji Anies: "Wakanda No More, Indonesia Forever" dibuktikan dengan lugas dalam program berantai di berbagai daerah ini.
Membandingkan dengan model pertemuan terbatas atau kampanye dialogis sebagai bentuk kampanye terbatas tempo dulu, "Desak Anies" (meminjam terma ekonomi dan pasar) telah melahirkan fenomena "disruptif" dalam kampanye Pemilu. Dalam makna yang positif, cara ini berhasil mengganggu, mengacaukan bahkan merobohkan cara-cara lama kampanye yang sarat dengan nuansa rekayasa dan beraroma mobilisasi.