Firmal Allah SWT di dalam Al Quran: "Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal "(QS Al Hujurat : 13).
Â
Refleksi atas Fitrah KebinekaanÂ
Salah satu fitrah terbesar yang dimiliki bangsa Indonesia sejak kelahirannya sebagai sebuah entitas negara-bangsa 17 Agustus 1945 silam adalah kebhinnekaan. Bangsa ini beragam, dan nyaris sempurna keragamannya. Fakta sosio-kultural ini bahkan sudah ada sejak era monarki-monarki Nusantara, jauh sebelum kolonialis Belanda datang dan menguasai negeri ini.
Fitrah keragaman itu adalah sunatullah, kehendak Tuhan yang diwujudkannya sejak permulaan penciptaan sebagaimana diisyaratkan dalam salah satu butir firmanNya di atas. Bahwa manusia memang diciptakan beragam; berbangsa dan bersuku-suku, yang dengan demikian niscaya juga melahirkan keragaman berpikir, bertutur, berperilaku dan berinteraksi, serta melahirkan kreasi-kreasi kultural yang serba majemuk dalam kehidupan.
Oleh karenanya maka fitrah keragaman itu sejatinya juga adalah anugrah, karunia Tuhan. Kekayaan tiada tara yang telah menghadirkan keindahan pada negeri ini, dan memberinya warna pada semesta kehidupan bangsa Indonesia. Keragaman telah membuat negeri ini layaknya miniatur alam semesta.
Namun demikian bersama anugrah keindahan yang hadir dari natur keragaman itu, Tuhan juga menyertakan di dalamnya tantangan sekaligus ujian bagi bangsa ini. Ujian dan tantangan itu hadir dari esensi keragaman, yakni perbedaan yang secara potensial menjadi pemicu polarisasi (pembelahan) serta konflik di dalam kehidupan sosial. Â
Dalam konteks Indonesia mutakhir, wajah kebhinnekaan serta implikasi-implikasi sosio-politiknya itu kini terasa dan mengejewantah dalam perhelatan elektoral Pemilu 2024 yang tahapannya tidak lama lagi akan segera memasuki fase klimaks, yakni pemungutan dan penghitungan suara, 14 Februari 2024 nanti.
Berlatar realitas sosio-kultural dan hajat demokrasi elektoral yang dihelat di atas lanskap kebhinnekaan itu, bangsa Indonesia kini sedang dan --dalam rentang waktu yang relatif masih cukup panjang-- akan menghadapi arus deras berbagai bentuk ekspresi perbedaan yang dipicu oleh keragaman orientasi, paradoks kepentingan dan target-target politik elektoral dari masing-masing kubu kontestan.
Bagaimana situasi ini sebaiknya dihadapi dan dikelola agar tidak mengarah pada situasi konflik dan pertengkaran ekstrim secara fisik yang menegasikan harmoni dan kedamaian antar sesama peserta Pemilu dan antar elemen bangsa?