Mohon tunggu...
Agus Sutisna
Agus Sutisna Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Dosen | Pegiat Sosial | Menulis berharap ridho Allah dan manfaat bagi sesama.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Meluruskan Pikiran-pikiran Keliru Seputar Debat

10 Januari 2024   09:08 Diperbarui: 10 Januari 2024   09:27 309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bertolak dari norma-norma perundangan terurai di atas, tulisan ini bermaksud mengoreksi sekaligus meluruskan beberapa pikiran keliru seputar debat yang saat ini berkembang dalam masyarakat. Setidaknya ada 4 (empat) pikiran keliru yang perlu dikoreksi dan diluruskan.

Pertama, debat harus dianggap cukup sebagai forum untuk menyampaikan Visi-Misi dan Program. Pikiran ini keliru. Debat seperti dimaknai dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), merupakan pembahasan dan pertukaran pendapat mengenai suatu hal dengan saling memberi alasan untuk mempertahankan pendapat masing-masing.

Jika visi-misi dan program hanya disampaikan secara monolog, apalagi dalam durasi waktu yang sangat terbatas, publik tidak mungkin memahami secara utuh substansi dan esensinya. Cara monolog juga tidak memberi ruang kepada rakyat untuk  mempertanyakan atau mandalami satu atau lebih isu terkait visi-misi dan program itu.

Apalagi mengelaborasi dan mengeksplorasi gagasan-gagasan visioner atau solusi-solusi yang ditawarkan para kandidat untuk menyelesaikan ragam persoalan kebangsaan dan kenegaraan. Bagi para kandidat sendiri pendekatan monolog juga tidak akan memberikan feedback terhadap apa yang mereka pikirkan, apa yang mereka gagas dan tawarkan kepada masyarakat.

Kedua, debat tidak boleh menjadi forum untuk mengevaluasi kinerja. Ini juga idem ditto kelirunya. Sekali lagi, debat adalah ajang untuk mengeksplorasi gagasan, termasuk gagasan yang mungkin sudah pernah ditawarkan seorang kandidat dan dilaksanakannya dalam posisi terakhir dia memimpin. Karena itu evaluasi justru menjadi wajib.

Dalam konteks debat, evaluasi dilakukan untuk memeriksa dan menguji perihal apapun yang sudah dilakukan oleh seorang kandidat dalam posisi terakhirnya sebelum ia maju sebagai calon Presiden. Entah sebagai Walikota, Gubernur, Menteri, atau Legislator, atau profesi lain terutama yang berhubungan dengan urusan publik. Bahwa kemudian evaluasi ini menyasar pula rekam jejak para kandidat, inilah esensi debat sebagai cara untuk mendapatkan kandidat pemimpin terbaik dari stok yang tersedia.

Ketiga, debat tidak boleh saling menyerang dan saling membantah. Ini juga keliru  dan melawan logika terminologis. Sekali lagi, debat adalah pembahasan dan pertukaran pendapat mengenai suatu isu dengan saling memberi alasan untuk mempertahankan pendapat masing-masing.

Pertukaran pendapat, argumen dan kontra-argumen itu artinya debat memang niscaya saling serang, saling membantah. Apa yang dibahas dan dipertukarkan dengan argumen masing-masing ? Tentu saja gagasan, pikiran, pendapat, rancangan kebijakan atau program, bukan isu-isu personal. Makanya secara sederhana kerap dikatakan, bahwa debat hakekatnya adalah adu gagasan.   

Dengan cara demikian, publik bisa membaca, memahami sekaligus menakar seberap kuat dan meyakinkan gagasan para kandidat, seberapa relevan dan realistis rancangan kebijakan mereka, dan seberapa nyambung dengan aspirasi rakyat dan kebutuhan kini dan esok hari. Debat adalah cara sehat elektoral untuk memastikan rakyat tidak terjebak dalam kebiasaan transaksi gelap "beli kucing dalam karung"!

Keempat, kekeliruan berpikir yang terakhir adalah menganggap debat sekedar wacana dan mimpi-mimpi. Pemilu adalah hajat hari ini untuk kepentingan hari esok. Hajat untuk memilih pemimpin yang akan menakhodai negara-bangsa dalam rentang waktu tertentu ke depan. Sebagai calon nakhoda kapal besar republik ini, mereka wajib mengemukakan kepada rakyat perihal apa saja yang akan dilakukannya jika mendapat mandat kelak.

Kandidat yang tidak berkenan, tidak sanggup, minggir "Wir". Karena ini negara demokrasi. Rakyat berhak atas gagasan dan rancangan-rancangan programatik calon pemimpinnya. Perkara ada di antara para pemilih yang menganggap bahwa yang ditawarkan mereka hanya "omon-omon", jualan mimpi, retorika dan sejenisnya, fakta ini tidak bisa dijadikan alasan bahwa debat kemudian dicap sekedar wacana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun