Mohon tunggu...
Agus Sutisna
Agus Sutisna Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Dosen | Pegiat Sosial | Menulis berharap ridho Allah dan manfaat bagi sesama I Nominee Kompasiana Award 2024 - Best in Opinion

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pentingnya Menghidupkan Semangat Moderasi Beragama

26 Desember 2023   16:10 Diperbarui: 26 Desember 2023   16:12 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kemarin umat Nasrani baru saja merayakan hari Natal. Fenomena siklis tahunan kembali hadir di berbagai platform pemberitaan serta ruang-ruang percakapan dan diskusi tentang pentingnya menghidupkan terus semangat moderasi dan toleransi beragama. Pesan yang baik tentu saja.

Dalam masyarakat yang super-majemuk seperti Indonesia, multi-ras, multi-etnik, multi-kultural, terutama masyarakat multi-iman, semangat moderasi dan toleransi beragama memang harus terus dihidupkan. Bahkan, mestinya bukan hanya pada momen-momen perayaan hari keagaman, tetapi saban hari, setiap waktu. Dan tentu saja bukan hanya verbal, tetapi juga praksis.

Mengapa demikian? Karena tidak ada pilihan lain. Moderasi beragama dan  toleransi yang menyertainya dalam masyarakat multi-iman/agama (multi-faith society), merupakan pilihan tunggal sebagai prasyarat membangun dan mewujudkan tatanan sosial yang harmoni dan menghadirkan bangunan masyarakat yang saling berkoeksistensi dengan damai dan indah meski dalam realitas perbedaan yang sangat mendasar.

 

Moderasi Beragama

Secara etimologis istilah moderasi berasal dari kata "moderation", artinya "jalan tengah, sikap tengah, sikap tidak berlebihan". Dalam suatu diskusi atau debat kita mengenal Moderator, yakni orang yang menengahi tukar menukar pandangan atau gagasan dalam diskusi atau perdebatan dengan cara adil, tidak memihak, persis berada di tengah di antara peserta diskusi dan menengahi pembahasan atau perdebatan.

Dalam konteks kehidupan beragama, para ahli memaknai istilah Moderasi sebagai cara beragama dengan moderat, cara menjalani kehidupan agama yang tidak berlebihan dan menjurus ke titik ekstrim.

Dalam Al Qura'an, pesan Illahiyah tentang moderasi beragama ini tertuang dalam Surat Al-Baqarah ayat 143 : "Dan demikian (pula) Kami menjadikan kamu (umat Islam) sebagai ummatan wasathan (umat yang adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan manusia) dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu...".

Frasa ummatan wasathan dalam ayat tersebut mengandung arti sebagai sikap pertengahan atau moderat (tawasuth), jalan tengah, serta seimbang di antara dua kutub ekstrim. 

Tetapi penting pula untuk segera dikemukakan agar tidak keliru mamahami. Moderasi Beragama bukanlah moderasi agama. Moderasi beragama adalah soal pendekatan, metode atau cara. Dalam hal ini, sekali lagi, adalah cara menjalankan agama yang moderat. 

Sedangkan Moderasi Agama lebih ke soal substantif. Dalam konteks ini moderasi agama artinya menjadikan aspek-aspek substantif (terutama sisi akidah) suatu agama sebagai sesuatu yang bisa dimoderasi, bisa dikompromikan. Ini pemahaman keliru tentu saja. Karena dengan cara demikian, alih-alih melahirkan toleransi dalam keragaman iman, yang terjadi justru penyeragaman esensi ajaran masing-masing agama, yang pada gilirannya akan mengacaukan struktrur kaidah-kaidah substantif dari tiap-tiap agama. 

Bertolak dari pemahaman tersebut, ada dua prinsip dasar dalam kerangka moderasi beragama yang harus dipegang secara seimban dan proporsional. Pertama, pada aspek substansi (terutama berkenaan dengan dimensi iman, akidah yang sifatnya doktriner) para penganut agama sejatinya wajib memegang teguh iman dan keyakinannya masing-masing. 

Kedua, dalam aspek metode atau cara menjalankan iman dan keyakinan itu, para penganut agama seyogyanya bersikap moderat, menjauhi sikap berlebihan, dan menghindari cara-cara demonstratif yang dapat menyinggung perasaan pemeluk agama yang berbeda. Terlebih lagi dengan sadar dan sengaja mengolok-olok atau menistakan iman dan keyakinan yang berbeda dengan iman dan keyakinan dirinya. 

 

Mengapa diperlukan moderasi beragama ?

Iman, kepercayaan dan keyakinan adalah soal prinsip sekaligus mulia dalam kehidupan manusia pada umumnya. Karena itu ia menjadi sesuatu yang sangat sensitif. Memasuki area ini dengan cara yang gegabah bisa memicu bukan hanya kegaduhan, tetapi juga konflik sosial-horisontal. 

Moderasi beragama diperlukan untuk menjaga harmoni sosial dan koeksistensi kehidupan umat manusia, yang sejatinya juga diinginkan oleh setiap orang baik secara individual maupun kolektif. Karena hanya dalam situasi damai dan harmoni yang terbangunlah setiap orang, setiap masyarakat, dan setiap bangsa bisa menjalani hidup dan kehidupannya secara berarti sebagai manusia.

Dalam tatanan yang damai dan harmoni setiap orang, kelompok, masyarakat atau suatu bangsa bisa memenuhi segala kebutuhan sosiologisnya dengan cara kerjasama dan saling membantu. Dalam situasi demikian pula, peradaban manusia bertransformasi  ke arah yang lebih baik dan berkemajuan dari fase ke fase lainnya. Dan yang penting, semua ini bisa diwujudkan tanpa perlu mendegradasi kadar iman atau derajat kepercayaan dan keyakinan masing-masing penganut agama. 

Dalam masyarakat multi-faith seperti Indonesia, semangat menghidupkan  moderasi beragama tentu lebih urgent lagi. Karena potensi konflik yang dipicu oleh realitas perbedaan iman dan keyakinan menjadi bersifat multi-arah dan jauh lebih kompleks. Dalam situasi ini para pemeluk semua agama dan aliran kepercayaan dituntut untuk secara tulus dan sungguh-sungguh mempraktikan cara beragama secara moderat dan tidak berlebih-lebihan.

Moderasi beragama dalam kerangka keindonesiaan yang multi-faith sekaligus serba multikultur ini dibutuhkan, selain dalam rangka membangun dan mewujudkan persaudaraan sesama umat manusia (ukhuwah bashariyah), juga untuk memastikan terjaganya ikatan persatuan dan persaudaraan kebangsaan (ukhuwah wathoniyah). 

 

Bagaimana menghidupkan moderasi beragama?

Sedikitnya ada dua pendekatan yang bisa dilakukan untuk menghidupkan terus semangat moderasi beragama kini dan ke depan, yakni pendekatan dialog intelektual dan pendekatan praksis sosial.

Pendekatan dialog intelektual dilakukan dengan cara memperluas ruang-ruang dan mengintensifkan forum-forum dialog antar tokoh agama (ulama, rohaniawan atau sebutan lainnya) dan para aktifis keagamaan. Keyword-nya "Dialog", bukan "Debat"! Artinya yang dilakukan adalah ikhtiar bersama untuk saling memahami esensi kaidah-kaidah iman dan keyakinan masing-masing, dan bukan memperdebatkan keragaman dan perbedaannya.

Dalam dialog serupa itu diharapkan setiap penganut agama akan memiliki pengetahuan yang otentik tentang iman dan keyakinan pihak lain, lalu bisa memahaminya (mengerti secara utuh), dan akhirnya sampai pada posisi puncak relasi antar penganut agama, yakni toleran dan menghargai pilihan masing-masing.

Pendekatan praksis sosial dilakukan dengan cara memperluas ruang-ruang dan mengintesifkan aktifitas-aktifitas sosial-kemasyarakatan (muamalah) pada semua tingkatan atau ruanglingkup relasi antar penganut agama. Mungkin dalam urusan ketetanggaan, lingkungan pemukiman, atau dalam ruanglingkup sosial yang lebih luas lagi. Misalnya kegiatan bersama ormas atau organisasi kepemudaan, kemahasiswaan dan pelajar. 

Dengan cara demikian, semangat menghidupkan moderasi beragama akan terus terjaga, tumbuh dan berkembang semakin luas di dalam masyarakat. Dan ketika capaian ini berhasil diwujudkan dengan sendirinya akan memberikan kontribusi besar dan bermakna dalam menjaga persatuan dan keutuhan berbangsa dan bernegara. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun