Machiavelli adalah seorang realis tulen, pragmatik sejati. Ia salah seorang filsuf besar paling berpengaruh di era renaissance, yang dalam pemikiran-pemikiran politiknya  dengan lugas meminggirkan aspek moral dan etika. Baginya negara dan kekuasaan pemerintahan suatu negara adalah segalanya. Ia prioritas dan harus menjadi yang utama, baik dalam mengoperasikan maupun dalam mempertahkannya. Kekuasaan bahkan harus berada di atas hukum.
Implikasi dari cara berpikir Machiavelli yang demikian itu, maka segala cara sejauh dilakukan untuk kepentingan kekuasaan negara dianggap sah dan boleh dilakukan. The end justifies the means, tujuan menghalalkan cara. Demikian frasa populer yang lazim disematkan pada cara berpikir Machiavelli.Â
Ringkasnya, bagi Machiavelli cara atau jalan apapun boleh dilakukan sepanjang dilakukan untuk tujuan memenuhi kepentingan kekuasaan negara, yang dianggapnya (kala itu dalam pemikiran temporernya) sebagai suatu kebaikan, suatu kemasalahatan.Â
Sekali lagi, Machiavelli adalah seorang realis sejati, antimoral dan etik ketika bicara soal kekuasaan. Soal pentingnya penguasa menjaga dan mempertahankan kekuasaanya dengan cara apapun dari manusia-manusia yang dianggapnya jahat dan akan mengganggu kekuasaannya.
Â
Jembata Moral, Titian Etik
Kembali ke soal debat Pilpres, yang secara substantif diharapkan bisa menjadi bagian dari referensi pemilih untuk menentukan pilihannya nanti tanggal 14 Februari 2024. Â Â
Dalam debat kedua besok malam, para kandidat Cawapres sudah barang pasti akan mengerahkan seluruh kapasitas dan kemampuan personalnya untuk meyakinkan pemilih agar memilih pasangannya masing-masing.Â
Parameter-parameter dimensionalnya jelas. Mulai dari performa pribadi (penampilan, kematangan dan ketahanan emosi, kepiawaian komunikasi dan konstruksi nalar di belakangnya), rekam jejak, kapasitas, kompetensi dan pengalaman, hingga ke potensi leadership dan manajerialnya.Â
Setiap pemilih tentu memiliki kebebasan dan otonomi politik yang penuh untuk menentukan pilihannya berdasarkan semua dimensi parameter tersebut, sesuai keyakinan pilihan dan derajat literasi politik pribadinya sebagai warga negara dewasa.Â
Tetapi satu hal mestinya menjadi acuan bersama untuk semua kategori pemillih, yang literate maupun illiterate secara politik. Yakni soal cara atau jalan (wasilah) yang dilalui dan ditempuh para kandidat itu sampai pada posisi sebagai pasangan kandidat pemimpin.Â