Di sisi lain, rakyat juga tidak akan bisa membaca dan menilai gagasan-gagasan alternatif, pikiran-pikiran antitesis dari kandidat yang berada di posisi "challenger". Jangan-jangan gagasan dan pikiran para penantang justru tidak lebih baik, tidak meyakinkan, dan tidak menghidupkan optimisme sama sekali.
Bahwa dengan metode debat eksploratif (dengan catatan tadi : etik ditegakkan dan dijaga oleh masing-masing kubu dan kandidat) kemudian muncul percikan-percikan emosi para kandidat dan memicu hawa panas, inilah konsekuensi kita memilih demokrasi sebagai cara hidup berbangsa dan bernegara. Ini pula konsekuensi sebuah kontestasi. Kontestasi politik pula.
Dengan cara pandang lain, percikan emosi dan situasi panas itu bahkan bisa menjadi salah satu parameter untuk mengukur kepantasan dan kelayakan figuritas seorang kandidat untuk dipilih atau diabaikan.Â
Percikan emosi ini maksudnya tentu, baik pemicu maupun reaksi. Publik bisa melihat siapa memicu dan dengan cara bagaiman ia memicu emosi lawan, serta siapa bereaksi dan dengan wajah macam ia bereaksi terhadap lawan. Publik bisa menilai siapa yang pantas diberi angka 9 atau 2 dalam skala 1-10.
Terakhir, tidak  usah paranoid dengan situasi panas dan munculnya percikan-percikan emosi dalam debat. Demokrasi bukan saja memberi ruang untuk bertengkar, tetapi juga menyediakan cara untuk berdamai pada akhirnya.  Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H