Mohon tunggu...
Agus Sutisna
Agus Sutisna Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Dosen | Pegiat Sosial | Menulis berharap ridho Allah dan manfaat bagi sesama I Nominee Kompasiana Award 2024 - Best in Opinion

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Soal Debat, Demokrasi Menyediakan Cara untuk Berdamai

20 Desember 2023   13:28 Diperbarui: 23 Desember 2023   10:32 683
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: debat para pendukung. (Sumber: SHUTTERSTOCK via kompas.com)

Di sisi lain, rakyat juga tidak akan bisa membaca dan menilai gagasan-gagasan alternatif, pikiran-pikiran antitesis dari kandidat yang berada di posisi "challenger". Jangan-jangan gagasan dan pikiran para penantang justru tidak lebih baik, tidak meyakinkan, dan tidak menghidupkan optimisme sama sekali.

Bahwa dengan metode debat eksploratif (dengan catatan tadi : etik ditegakkan dan dijaga oleh masing-masing kubu dan kandidat) kemudian muncul percikan-percikan emosi para kandidat dan memicu hawa panas, inilah konsekuensi kita memilih demokrasi sebagai cara hidup berbangsa dan bernegara. Ini pula konsekuensi sebuah kontestasi. Kontestasi politik pula.

Dengan cara pandang lain, percikan emosi dan situasi panas itu bahkan bisa menjadi salah satu parameter untuk mengukur kepantasan dan kelayakan figuritas seorang kandidat untuk dipilih atau diabaikan. 

Percikan emosi ini maksudnya tentu, baik pemicu maupun reaksi. Publik bisa melihat siapa memicu dan dengan cara bagaiman ia memicu emosi lawan, serta siapa bereaksi dan dengan wajah macam ia bereaksi terhadap lawan. Publik bisa menilai siapa yang pantas diberi angka 9 atau 2 dalam skala 1-10.

Terakhir, tidak  usah paranoid dengan situasi panas dan munculnya percikan-percikan emosi dalam debat. Demokrasi bukan saja memberi ruang untuk bertengkar, tetapi juga menyediakan cara untuk berdamai pada akhirnya.   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun