Untuk apa? Supaya rakyat memperoleh pengetahuan yang memadai tentang sosok calon pemimpinnya. Siapa mereka?Â
Sebesar apa kapasitasnya, sejauh apa pengalaman dan kompetensinya, sevisioner sekaligus serealistis apa gagasan dan pikiran-pikirannya, dan semeyakinkan apa tawaran mereka untuk rakyat.
Dengan cara demikian rakyat tidak dihadapkan pada situasi "membeli kucing dalam karung" sebagaimana lazimnya terjadi dalam tradisi negara-negara non-demokratik atau negara otoriter.Â
Pemilu hanya menjadi instrumen untuk mempertahankan legitimasi status quo kekuasaan dengan cara mobilisasi habis-habisan dan meminggirkan nalar sehat rakyat.
Apa yang harus diperdebatkan?
Penting untuk selalu disadari bahwa tidak ada kepemimpinan politik yang sempurna, dimanapun dan di era peradaban sejarah apapun. Ketidaksempurnaan adalah taqdir purbawi manusia, termasuk para pemimpin.Â
Demokrasi hadir antara lain untuk mengelola ketidaksempurnaan kepemimpinan itu dengan cara berkeadaban. Dan Pemilu (termasuk forum debat Capres sebagai bagian dari matarantai perhelatan) merupakan instrumen operasionalnya.
Lantas apa yang perlu diperdebatkan (dipertukarkan dan dibahas dengan kritis) dalam suasana dialelktis? Sudah barang pasti semua aspek yang muncul dari ketidaksempurnaan kepemimpinan politik itu.Â
Dalam konteks Indonesia kontemporer, Jokowi-Ma'ruf dan para pembantunya di kabinet tentu saja sudah berbuat banyak untuk rakyat.
Tetapi tidak semua kebijakan dan program pemerintahan Jokowi itu baik dan memihak pada kebutuhan rakyat serta selalu menguntungkan negara.Â
Setidaknya demikian dalam pandangan dan penyikapan sebagian masyarakat. Pandangan dan sikap kontra ini tentu harus dihargai sebagai bentuk keragaman pikiran dan apsirasi yang dijamin konstitusi, sekaligus bagian dari upaya menghidupkan terus nalar kritis dan obyektif dalam tradisi demokrasi.