Pasca Debat Capres Pertama kegaduhan sempat merebak di ruang-ruang digital. Pro dan kontra menyeruak di antara kegaduhan itu.Â
Masyarakat yang cenderung kontra mempertanyakan efektifitas debat serupa itu, baik sebagai metode kampanye untuk meyakinkan pemilih maupun sebagai bagian dari pendidikan dan pendewasaan politik.Â
Di antara mereka (tidak banyak sih) bahkan sampai pada kesimpulan, bahwa debat Capres tidak perlu. Hanya bikin gaduh, ribut, memicu pertengkaran warga dan merusak harmoni sosial.
Sejauh yang dapat dicermati, ada dua faktor pemicu munculnya pandangan dan sikap kontra debat tersebut. Pertama, situasi debat pertama berlangsung lumayan panas, saling menyerang, saling buka-bukaan kasus, dan dengan sendirinya memantik emosi.Â
Kedua, suasana debat yang berlangsung panas itu kemudian menyisakan sejumlah residu yang mengalir ke berbagai ruang dan waktu pasca debat.
Dengan demikian, kiranya dapat diyakini bahwa sesungguhnya masyarakat khususnya para pemilih tidak mempersoalkan penyelenggaraan debat, apalagi alergi. Dan mestinya memang begitu.Â
Bukan saja karena debat Capres telah diatur dalam undang-undang (Pasal 275 dan 277 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu) dan merupakan tradisi demokrasi elektoral di manapun. Tetapi juga karena forum debat dibutuhkan berdasarkan nalar sehat politik kepemimpinan.
Mengapa forum debat dibutuhkan?
Dalam Kamus Bahasa kita dijelaskan, bahwa debat adalah pertukaran dan pembahasan pendapat terkait suatu hal dengan saling menyampaikan argumentasi atau alasan dengan tujuan mempertahankan pendapat bahkan memenangkan pendapat.
Dalam konteks Pilpres atau pemilihan pemimpin level apapun, pertukaran dan pembahasan berbagai isu bersama dengan argumentasi-argumentasi meyakinkan dari para pihak kandidat ini penting tentu saja. Terlebih dalam forum kontestasi kepemimpinan puncak negara.