Mohon tunggu...
Agus Sutisna
Agus Sutisna Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Dosen | Pegiat Sosial | Menulis berharap ridho Allah dan manfaat bagi sesama I Nominee Kompasiana Award 2024 - Best in Opinion

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Pemilu 2024 dalam Sindrom Transisi Demokrasi

4 Desember 2023   00:52 Diperbarui: 5 Desember 2023   04:50 436
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada bagian akhir bukunya yang populer, The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century (1991), Samuel P. Huntington menulis, bahwa selama satu setengah abad setelah pengamatan Tocqueville mengenai munculnya demokrasi modern di Amerika, gelombang-gelombang demokratisasi silih berganti melanda pantai kediktatoran. 

Disangga oleh pasang naik kemajuan ekonomi, masing-masing gelombang bergerak maju lebih jauh dan mundur lebih sedikit daripada gelombang sebelumnya.

Narasi tersebut menjelaskan bahwa kehadiran dan perkembangan demokrasi dalam ruang sejarah transisi perjalanan politik di berbagai negara tidaklah berlangsung dalam pola garis lurus. Melainkan, ibarat sebuah rute perjalanan, ia berliku, bahkan kerap harus melewati jalanan serba terjal yang membahayakan.

Sindrom Transisi Demokrasi

Studi Guillermo O'Donnell, dkk (1986) misalnya menjelaskan, bahwa transisi demokrasi, fase peralihan dari era rezim otoriter ke pemerintahan demokratis menyimpan peluang surutnya kembali proses demokratisasi ke bentuk otoritarianisme baru (neo-otoritarianisme) yang disebutnya dengan istilah democraduras dan dictablandas.

Gejala Democraduras disematkan O'Donnell pada rezim yang dibentuk dan dihasilkan melalui proses pemilihan umum sebagai sarana untuk memperoleh legitimasi namun dengan menciptakan alienasi publik dari kekuasaan. Tak pelak lagi, ini merupakan gejala pemerintahan yang buruk karena mengandalkan sarana pemilu sekadar untuk mendapatkan dukungan rakyat.

Demokrasi yang sesungguhnya, yang seharusnya menyertakan rakyat secara inklusif dan partisipatif dalam setiap proses-proses politik tidaklah menjadi prioritas. Namun begitu, O'Donnell menganggap Democraduras masih dapat dikategorikan sebagai rezim demokratis.

Fenomena yang lebih buruk dan jauh dari demokratis adalah rezim Dictablandas. Sama dengan rezim Democaduras, rezim Dictablandas juga menggunakan pemilu sebagai sarana untuk memperoleh legitimasi rakyat. Namun diselenggarakan dengan pelbagai pembatasan politik, kecurangan-kecurangan terstruktur dan sistemik, serta cacat prosedur disana-sini.

Sementara itu, jauh sebelum O'Donnell dkk memetakan potensi terjadinya rekonsolidasi kekuatan-kekuatan otoritarianisme, Dankwart A. Rustow menggunakan 3 (tiga) diksi menarik dalam menjelaskan proses transisi demokrasi, yakni: battle, stalemate, dan habituation phase. 

Diungkapkan dalam artikel berjudul "Transitions to Democracy: Toward a Dynamic Model" (Jurnal Comparative Politics, April 1970), Rustow menguraikan masa transisi menuju demokrasi yang diwarnai dengan the battle, pertarungan atau perseteruan antara pendukung demokrasi dengan para pembela status quo. 

Dalam situasi ini, proses demokratisasi berada dalam kegamangan, hingga memicu hadirnya the stalemate (situasi kebuntuan) karena para elit yang berkuasa mengalami kelelahan oleh sebab perseturuan yang tak habis-habis dan berkepanjangan tadi.

Demikianlah, proses transisi menuju demokrasi akhirnya memasuki fase akhir, fase konsolidasi yang disebutnya dengan istilah the habituation phase. Di fase ini terjadi tawar-menawar, kompromi-kompromi antar faksi atau kelompok yang berseteru.

Poin penting dalam kerangka transisi ini, bahwa sejumlah negara gagal melewati fase stalemate, gagal mencapai kompromi dan habituation phase hingga proses transisi menjadi tidak jelas arahnya, setback. Dan akhirnya tak jarang kemudian justru menghadirkan otoritarianisme baru.

www.ngopibareng.id
www.ngopibareng.id

Paradoks Demokratisasi

Dalam pola dasar yang sama, meski dengan ekspresi kasus yang beragam, sindrom transisi demokrasi di Indonesia juga menunjukkan gejala yang tidak jauh berbeda. 

Pemilu misalnya sebagai salah satu instrumen penting sekaligus penanda paling asertif dari proses demokratisasi, memang telah berhasil digelar dan berlangsung dengan relatif baik.

Kekuatan-kekuatan non-demokratik seperti militer berhasil direposisi pada lokus yang seharusnya. Partisipasi politik rakyat terus meningkat dari waktu ke waktu. Bahkan, otonomi lokal berhasil diperluas untuk memastikan rakyat di daerah berperan efektif dan determinatif mengurus daerahnya sendiri-sendiri.

Akan tetapi di sisi capaian keberhasilan-keberhasilan itu, sepanjang lebih dari dua dekade pasca orde baru ini sesungguhnya juga terus hadir sejumlah problematika sosio-politik, deretan paradoks yang menyertai perjalanan transisi demokrasi sekaligus potensial dapat merusak capaian-capaian prestatif yang telah ditorehkan.

Mulai dari fenomena dominasi local strongman dan local boss, praktik politik transaksional, politisasi identitas dan polarisasi berbasis primordialisme, serta hasrat memberi ruang kembali pada kekuatan politik non-demokratik (militer). 

Hingga yang terbaru dan paling riuh diperbincangkan belakangan ini. Yakni gejala bengkitnya politik dinasti di level nasional, hidupnya kembali praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme, serta dominasi oligarki di panggung kekuasaan.

Meski ikhtiar bersama mengonsolidasikan demokrasi sudah berlangsung lebih dari dua dekade, Pemilu 2024 yang tengah memasuki fase-fase krusial ini nampaknya juga belum sepenuhnya lepas dari ancaman sindrom transisi demokrasi sebagaimana diulas di atas.

Dalam konteks ini berbagai paradoks demokratisasi (kooptasi kekuasaan terhadap lembaga hukum dan peradilan, gejala nepotisme, mobilisasi aparatur negara, dan dugaan adanya intervensi terhadap penyelenggara pemilu misalnya) yang menyertai proses perhelatan Pemilu 2024 dapat membuka peluang kegagalan bangsa ini melewati masa transisi.

Maka alih-alih berhasil mengonsolidasikan demokrasi secara substantif, yang terjadi justru bisa sebaliknya yakni mengundang kembali hadirnya tradisi otoritarianisme negara serupa era orde baru, kelak setelah pemilu usai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun