Ironi lain yang masih bersitemali dengan pernyataan Hasto adalah soal pilihan langkah politik elektoral Jokowi dan keluarganya. Lagi-lagi, soal ini juga pernah dikemukakan oleh Hasto dan beberapa elit PDIP beberapa waktu lalu.
Jokowi, sosok sederhana yang melenting dari seorang pengusaha mebel menjadi Walikota, kemudian Gubernur, dan akhirnya menjadi Presiden, kini disematkan padanya label "kacang lupa pada kulit".Â
Pangkal soalnya adalah pilihan politik elektoral Jokowi yang tidak sejalan dengan kebijakan PDIP, partai yang telah melentingkannya dari rakyat biasa menjadi Presiden.
Tentu saja, Jokowi pasti punya alasan mengapa mengambil jalan berbeda dengan Megawati-PDIP. Dan, mari kita berprasangka baik, alasan yang sejatinya hanya Tuhan dan Jokowi sendiri saja yang tahu itu, boleh jadi didasarkan pada pertimbangan dan proyeksi kebaikan masa depan negara bangsa.
Tetapi, sebaik apapun alasan Jokowi, langkah politiknya tetaplah sebuah ironi. Meminjam istilah Prof. Muhammad Nuh (Guru Besar ITS): sebuah realitas perbedaan antagonistis antara kesemestian sebagai suatu keniscayaan dengan fakta sebagai suatu kenyataan.Â
Secara etik, moral dan nalar yang lumrah, setidaknya menurut elit dan massa PDIP, Jokowi mestinya tetap berjuang bersama PDIP karena partai inilah yang telah memberinya jalan hingga ke puncak karir politik. Namun yang terjadi sekarang, Jokowi justru meninggalkan PDIP.
Elit Partai tetiba jadi "negarawan"?
Ironi politik juga terjadi di tubuh sejumlah partai, misalnya di partai-partai yang tergabung dalam poros Koalisi Indonesia Maju (KIM).Â
Secara teoritik salah satu fungsi utama partai politik adalah menyiapkan kader-kader terbaiknya untuk dipromosikan sebagai kandidat-kandidat pemimpin negara bangsa di berbagai ranah dan level jabatan politik.
Jika ukuran kader terbaik di sebuah partai adalah jabatan struktural partai, maka para Ketua adalah kader-kader terbaik yang mestinya disiapkan, didorong dan diperjuangkan untuk mengambil slot posisi, entah bakal Capres atau bakal Cawapres (dalam konteks Pilpres tentu saja). Manakala Ketuanya tidak berkenan atau tidak berminat, idealnya slot itu didistribusikan kepada kader terbaik lainnya.
Ironi politik terjadi saat ini karena beberapa Ketua partai justru memberikan slot itu kepada figur yang sama sekali bukan kader partainya. Golkar misalnya.Â