Terlepas dari kontroversi yang menyertainya kemarin, saat ini proses kandidasi Pilpres 2024 sudah selesai. Tiga Paslon Capres-Cawapres telah resmi ditetapkan oleh KPU RI dengan nomor urut masing-masing yang juga telah disematkan kepada para Paslon.
Ketiga pasang kontestan juga telah menyiapkan tim pemenangan/tim kampanye yang melibatkan tokoh-tokoh populer di masing-masing kubu. Mulai dari elit-elit partai, menteri yang masih aktif, mantan pejabat negara, intelektual kampus, kalangan profesional, tokoh masyarakat, aktifis LSM, dan pentolan-pentolan relawan.
Di akar rumput, para pendukung ketiga Paslon kian ramai dan masif saling mengonsolidasikan diri. Mereka bersiap mengerahkan segala sumberdaya dan kemampuan untuk mengantarkan Capres-Cawapresnya ke puncak kemenangan.
Dalam kerangka ikhtiar pemenangan yang pastinya akan sangat kompetitif itu kontestasi biasanya akan diwarnai oleh perilaku pendukung super-fanatik dan militan. Mereka adalah para pemuja yang di kepalanya hanya ada satu frasa juang : "Anies-Cak Imin harga mati?" atau "Prabowo-Gibran haga mati!", atau"Ganjar-Mahfudz harga mati!". Atau frasa juang lain yang setara dan senafas dengan itu.
Karakter para Pemuja
Kehadiran para pemuja Capres-Cawapres dalam kontestasi Pemilu tentu merupakan hal yang lumrah, bisa difahami. Bahkan sampai batas tertentu, mungkin "diperlukan", setidaknya karena dua alasan.
Pertama, bagi masing-masing kubu Paslon, keberadaan mereka menjadi anak panah elektoral yang dilesatkan atau melesatkan dirinya ke berbagai ruang publik sebagai pembawa semangat pemenangan sekaligus penular pesan-pesan politik.
Kedua, keberadaan para pemuja super-fanatik dan militan itu juga positif dilihat dari sudut pandang partisipasi, terlepas dari karakteristik perilakunya yang cenderung lebih mengedepankan emosi dan sentimen-sentimen psikopolitik. Tanpa kehadiran mereka hajat demokrasi mungkin akan sepi, kurang gairah, minus dinamika.
Lalu siapa para pemuja Capres-Cawapres ? Mereka, tentu saja bagian dari kita, bahkan mungkin kita. Yakni para pemilih yang, oleh sebab satu dan lain alasan memantapkan dirinya untuk mendukung satu Paslon secara fanatik yang --disadari atau tidak---fanatismenya itu menegasikan sikap kritis dari dirinya sendiri.
Bagi para pemuja, Paslon yang didukungnya itu adalah segalanya, sosok yang sempurna, salah satu atau keduanya. Karena itu mereka merupakan pilihan wajib yang tidak bisa tergantikan kecuali oleh nihilisme. Jagoannya atau tidak sama sekali. Harga mati seperti disinggung di depan tadi.