Akhir November ini tahapan Pemilu 2024 akan memasuki masa kampanye. Dalam Lampiran I PKPU Nomor 15 Tahun 2023 tentang Kampanye Pemilihan Umum ditetapkan masa kampanye ini akan berlangsung dari tanggal 28 November 2023-10 Februari 2024.
Kampanye, sebagaimana dijelaskan dalam PKPU 15 itu, merupakan kegiatan Peserta Pemilu atau pihak lain yang ditunjuk oleh Peserta Pemilu untuk meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, program dan/atau citra diri Peserta Pemilu.
Jika merujuk pada norma ketentuan umum tersebut kegiatan kampanye itu simpel, mudah dibayangkan, termasuk berbagai kemungkinan peristiwa atau kejadian yang akan berlangsung.
Peserta Pemilu (Partai Politik, Calon DPD, dan Pasangan Capres-Cawapres) mempromosikan visi, misi, program dan/atau citra (brand) masing-masing kepada pemilih. Bisa melalui pertemuan tertutup, pertemuan tatap muka, penyebaran bahan kampanye, pemasangan alat peraga di tempat umum dan media sosial, serta debat Paslon Capres-Cawapres.
Kemudian para pemilih membaca, memahami, mengambil sikap dan memutuskan "produk-produk" peserta Pemilu mana yang mau dipilih. Simpan di hati keputusan itu, lalu tunggu sambil tetap menjalankan aktivitas keseharian, dan berikan suara di TPS pada tanggal 14 Februari 2024.
Medan Pertengkaran Ujaran
Namun dalam praksisnya, kampanye Pemilu tak akan sesimpel itu. Baik Peserta Pemilu maupun masyarakat (pemilih) akan terlibat dalam berbagai aktivitas yang tidak tertulis dalam regulasi. Mulai dari bentuk-bentuk aktivitas yang normal, legal (karena tidak dilarang) dan konstruktif, aktivitas yang nyerempet ke area abu-abu dan cenderung destruktif, hingga ke berbagai perilaku yang nyata-nyata dilarang oleh perundang-undangan.
Di era teknologi informasi dan komunikasi digital yang kian canggih dengan berbagai platform yang tersedia dan kian masif penggunaannya dalam masyarakat, situasi saling terlibat dalam aktivitas tak tertulis di seputar kegiatan kampanye itu potensial akan sangat gaduh dan berisik. Pengalaman Pemilu 2014 dan 2019 silam jelas menunjukkan fenomena ini.
Terlebih lagi jika isu-isu sensitif, baik yang pernah muncul dalam pemilu-pemilu sebelumnya maupun yang merebak kemarin dan masih menghangat hingga saat ini kemudian mencuat, berebut panggung dan dikapitalisasi demikian rupa oleh masing-masing kubu dan para pendukungnya. Kampanye akan kian gaduh, bukan oleh kontestasi gagasan, melainkan oleh pertengkaran berbagai ujaran.
Bertolak dari situasi hipotetik (sebagiannya saya kira sudah mendekati keniscayaan yang nampaknya akan sulit dihindari dan dikendalikan) itulah ikhtiar-ikhtiar memperkuat literasi Pemilu menjadi penting. Terutama untuk masyarakat yang, mohon maaf, tingkat literasi politiknya relatif belum cukup baik. Atau secara lebih spesifik untuk para pemilih yang literasi kepemiluannya, karena satu dan lain alasan, relatif masih tergolong belum memadai.
Literasi Politik dan Literasi Pemilu Â
Menurut Denver dan Hands (1990) dalam Karim dkk (2015), Literasi Politik (political literacy) merupakan pengetahuan dan pemahaman tentang proses politik dan isu-isu politik. Suatu pengetahuan dan pemahaman yang memungkinkan setiap warga negara dapat secara efektif melaksanakan perannya (berperan serta, berpartisipasi) sebagai warga negara.Â
Pengetahuan dan pemahaman ini oleh Cassel dan Lo (1997) disebut sebagai political expertise dan political awareness, yang intinya merujuk pada maksud sejauhmana seorang individu warga negara memberi perhatian dan memahami isu-isu politik.
Dalam frasa yang simpel dan asertif, Westholm et al. (1990) menyatakan, bahwa literasi politik pada dasarnya adalah kompetensi warga negara, suatu kompetensi yang dibentuk agar seorang warga negara siap menjalankan perannya dalam kehidupan demokrasi.
Dalam kerangka makro literasi politik inilah terma literasi kepemiluan diletakkan. Pemilih dalam konteks ini tidak hanya menjadi obyek target kampanye, melainkan juga harus menjadi subyek dalam kegiatan kampanye, atau secara umum dalam keseluruhan perhelatan Pemilu. Sebagai subyek, para pemilih dituntut untuk dapat memainkan peran-perannya secara aktif, efektif sekaligus konstruktif dalam Pemilu.
Dengan merujuk dan mengadaptasi pemikiran Mudhok (2005) mengenai literasi politik, untuk sampai pada level literate (melek) secara elektoral, para pemilih penting memiliki sedikitnya 4 (empat) aspek kriterium berikut.
Pertama, sikap hirau dan peduli terhadap rangkaian kegiatan kepemiluan. Kedua, kemampuan mengembangkan otonomi politik sebagai pemilih. Ketiga, pengetahuan yang memadai seputar kepemiluan. Keempat, antusiasme dan kesungguhan untuk berpartisipasi, mengambil peran aktif dan konstruktif dalam kegiatan-kegiatan kepemiluan.
Dalam konteks kegiatan kampanye Pemilu, dengan empat kapasitas dan kompetensi itu, sebagai subyek para pemilih dimungkinkan bukan saja dapat membaca, memahami dan mengambil keputusan secara kritis terhadap opsi-opsi tawaran para peserta Pemilu.
Tetapi juga dapat berperan aktif dalam ikhtiar-ikhtiar saling memperkuat literasi kepemiluan dengan sesama pemilih. Sekaligus juga dapat turut serta secara aktif mencegah berbagai potensi penyimpangan atau malpraktek dalam aktivitas kampanye.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H