Mohon tunggu...
Agus Sutisna
Agus Sutisna Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Dosen | Pegiat Sosial | Menulis berharap ridho Allah dan manfaat bagi sesama.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Akibat Putusan Mahkamah Beban Demokrasi Bertambah

26 Oktober 2023   10:00 Diperbarui: 26 Oktober 2023   11:41 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Political democracy depends not only on economic and social conditions, but also on the design of political institution". Dalil ini dikemukakan oleh James March dan Johan Olsen, dua ilmuwan politik yang mempromosikan pendekatan kelembagaan baru (new institusionalism) dalam disiplin ilmu politik.

Salah satu kelembagaan politik paling penting sebagaimana dimaksud dalil March dan Olsen itu adalah Pemilu. Artinya, selain sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat, Pemilu sejatinya juga memiliki fungsi sebagai instrumen kelembagaan untuk mengonsolidasikan demokrasi.

Dalam cara pandang demikian, maka desain Pemilu yang buruk akan berdampak buruk pula terhadap wajah demokrasi. Begitu pun sebaliknya, desain Pemilu yang baik akan berkontribusi positif terhadap wajah demokrasi.

Selain aspek desain, Pemilu yang dapat berkontribusi positif terhadap pematangan demokrasi adalah Pemilu yang diselenggarakan secara jujur dan adil serta terhindar dari cara-cara kotor dalam memenangi kontestasi.

Cara-cara memenangi kontestasi yang kotor itu misalnya adalah dengan mengkapitalisasi aspek-aspek primordial (agama, ras, etnik, kedaerahan) secara brutal, menggunakan strategi kampanye hitam dan menebar fitnah membabi buta. Alih-alih berkontribusi positif, Pemilu yang diwarnai cara-cara kotor seperti ini justru akan membebani demokrasi itu sendiri.

Pemilu yang sejatinya hadir sebagai instrumen penguatan demokrasi justru terdistorsi menjadi arena pertengkaran, ruang saling menyakiti antar elemen bangsa, dan meretakkan bangunan kohesivitas sosial serta mengancam keutuhan dan persatuan negara-bangsa.

Tanpa bermaksud membuka luka lama, melalui Pemilu 2019 silam demokrasi elektoral kita pernah terbebani dengan suatu problematika sosio-politik, yakni polarisasi (pembelahan) yang tajam dan ekstrim di dalam masyarakat. Polarisasi ini dipicu oleh politisasi identitas dan stigmatisasi buruk antar dua kubu pasangan Capres-Cawapres.

Polarisasi sebagai beban demokrasi ini terus berkelanjutan hingga Pemilu usai dan pemerintahan baru hasil Pemilu terbentuk. Sampai batas tertentu, polarisasi itu bahkan masih menghantui bangsa ini sampai sekarang.

 

Beban baru Demokrasi   

Sejak fase-fase awal tahapan Pemilu 2024 dimulai Juni 2022 lalu para elit politik, tokoh masyarakat, kalangan akademisi, pegiat kepemiluan dan para pengamat sudah sering mengemukakan early warning perihal isu-isu elektoral yang potensial bisa membebani demokrasi. Terutama terkait isu politisasi identitas, kampanye hitam, serta hoax dan fakenews.

Poros Koalisi Perubahan dan Persatuan (KPP) bahkan dengan tegas telah menyatakan "selamat tinggal Cebong dan Kampret" sebagai bentuk komitmen menghindari penggunaan politik identitas yang pernah menjadi pemicu polarisasi sebagai beban demokrasi tadi. Nampaknya kedua poros lainnya juga memiliki keinginan dan komitmen yang sama untuk menanggalkan isu politisasi identitas sebagai instrumen pemenangan kontestasi. Dan ini tentu sangat baik.

Namun sayang. Belakangan ini sejumlah isu kontroversial merebak di orbit perhelatan elektoral dan nampaknya bakal menjadi beban baru bagi demokrasi yang tengah dikonsolidasikan. Beban baru ini dipicu oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) berkenaan dengan usia Capres-Cawapres.

Kooptasi Kekuasaan dan Politik Dinasti

Sedikitnya ada 2 (dua) isu krusial yang potensial menjadi beban baru demokrasi elektoral yang dipicu oleh putusan tersebut. Pertama, dugaan telah terjadinya kooptasi kekuasaan atas putusan Mahkamah itu sendiri. Kedua isu politik dinasti.

Seperti yang sudah banyak diekspose media dan menjadi perbincangan panas di ruang publik, putusan MK terkait usia Capres-Cawapres itu diduga merupakan putusan yang telah dipersiapkan sedemikian rupa untuk semata-mata memenuhi syahwat kekuasaan dari aktor-aktor politik yang berkepentingan.

Dugaan kooptasi kekuasaan negara atas putusan Mahkamah itu kini telah menjadi pengetahuan publik dan dipercaya kesahihannya. Masyarakat faham betul, bahwa putusan ini telah berdampak langsung pada proses perhelatan Pemilu. Gibran yang semula tidak memenuhi syarat maju sebagai bakal Cawapres kini melenggang karena putusan tersebut.

Isu tersebut, besok atau lusa potensial akan menjadi bahan yang mudah untuk dipersoalkan pada masa kampanye. Legitimasi Prabowo-Gibran sebagai pasangan calon Presiden-Cawapres akan sangat rentan menjadi sasaran serangan lawan dan para pendukungnya. Dan akan sangat berbahaya jika misalnya pasangan ini akhirnya memenangi kontestasi. Kemenangannya potensial dipersoalkan dan akan kehilangan legitimasi.

Beban demokrasi lainnya terkait isu politik dinasti. Putusan Mahkamah yang telah memberi jalan bagi Gibran untuk maju sebagai bakal Cawapres dilihat dan dipercaya publik telah mengonfirmasi secara akurat dan kongkret dugaan selama ini. Bahwa Jokowi memang tengah mempersiapkan bangunan dinasti politik di ujung kekuasaannya.

Isu politik dinasti ini hemat saya juga akan menjadi beban baru demokrasi elektoral. Dalam arti ia akan menjadi salah satu isu yang bakal ramai dipersoalkan pada masa kampanye, dan tidak mustahil menjadi faktor pembelah (polarisasi) masyarakat menggantikan isu politik identitas di Pemilu 2019 silam.

Penting kiranya disadari, bahwa terlepas dari perdebatan akademik dan teoritik, dalam persepsi publik isu politik dinasti atau dinasti politik sesungguhnya telah hampir sampai pada kesimpulan akhir : buruk dan memuakkan !

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun