Sejak fase-fase awal tahapan Pemilu 2024 dimulai Juni 2022 lalu para elit politik, tokoh masyarakat, kalangan akademisi, pegiat kepemiluan dan para pengamat sudah sering mengemukakan early warning perihal isu-isu elektoral yang potensial bisa membebani demokrasi. Terutama terkait isu politisasi identitas, kampanye hitam, serta hoax dan fakenews.
Poros Koalisi Perubahan dan Persatuan (KPP) bahkan dengan tegas telah menyatakan "selamat tinggal Cebong dan Kampret" sebagai bentuk komitmen menghindari penggunaan politik identitas yang pernah menjadi pemicu polarisasi sebagai beban demokrasi tadi. Nampaknya kedua poros lainnya juga memiliki keinginan dan komitmen yang sama untuk menanggalkan isu politisasi identitas sebagai instrumen pemenangan kontestasi. Dan ini tentu sangat baik.
Namun sayang. Belakangan ini sejumlah isu kontroversial merebak di orbit perhelatan elektoral dan nampaknya bakal menjadi beban baru bagi demokrasi yang tengah dikonsolidasikan. Beban baru ini dipicu oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) berkenaan dengan usia Capres-Cawapres.
Kooptasi Kekuasaan dan Politik Dinasti
Sedikitnya ada 2 (dua) isu krusial yang potensial menjadi beban baru demokrasi elektoral yang dipicu oleh putusan tersebut. Pertama, dugaan telah terjadinya kooptasi kekuasaan atas putusan Mahkamah itu sendiri. Kedua isu politik dinasti.
Seperti yang sudah banyak diekspose media dan menjadi perbincangan panas di ruang publik, putusan MK terkait usia Capres-Cawapres itu diduga merupakan putusan yang telah dipersiapkan sedemikian rupa untuk semata-mata memenuhi syahwat kekuasaan dari aktor-aktor politik yang berkepentingan.
Dugaan kooptasi kekuasaan negara atas putusan Mahkamah itu kini telah menjadi pengetahuan publik dan dipercaya kesahihannya. Masyarakat faham betul, bahwa putusan ini telah berdampak langsung pada proses perhelatan Pemilu. Gibran yang semula tidak memenuhi syarat maju sebagai bakal Cawapres kini melenggang karena putusan tersebut.
Isu tersebut, besok atau lusa potensial akan menjadi bahan yang mudah untuk dipersoalkan pada masa kampanye. Legitimasi Prabowo-Gibran sebagai pasangan calon Presiden-Cawapres akan sangat rentan menjadi sasaran serangan lawan dan para pendukungnya. Dan akan sangat berbahaya jika misalnya pasangan ini akhirnya memenangi kontestasi. Kemenangannya potensial dipersoalkan dan akan kehilangan legitimasi.
Beban demokrasi lainnya terkait isu politik dinasti. Putusan Mahkamah yang telah memberi jalan bagi Gibran untuk maju sebagai bakal Cawapres dilihat dan dipercaya publik telah mengonfirmasi secara akurat dan kongkret dugaan selama ini. Bahwa Jokowi memang tengah mempersiapkan bangunan dinasti politik di ujung kekuasaannya.
Isu politik dinasti ini hemat saya juga akan menjadi beban baru demokrasi elektoral. Dalam arti ia akan menjadi salah satu isu yang bakal ramai dipersoalkan pada masa kampanye, dan tidak mustahil menjadi faktor pembelah (polarisasi) masyarakat menggantikan isu politik identitas di Pemilu 2019 silam.
Penting kiranya disadari, bahwa terlepas dari perdebatan akademik dan teoritik, dalam persepsi publik isu politik dinasti atau dinasti politik sesungguhnya telah hampir sampai pada kesimpulan akhir : buruk dan memuakkan !