Mohon tunggu...
Agus Sutisna
Agus Sutisna Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Dosen | Pegiat Sosial | Menulis berharap ridho Allah dan manfaat bagi sesama I Nominee Kompasiana Award 2024 - Best in Opinion

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Mencegah Golput Otentik Muncul Kembali

11 Oktober 2023   18:45 Diperbarui: 11 Oktober 2023   18:47 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam kerangka normatif perundang-undangan Pemilu kita tidak ada satupun pasal yang mengatur ketentuan perihal besaran angka partisipasi pemilih sebagai ambang batas (threshold) untuk menentukan sah atau tidak sahnya hasil Pemilu. Ketentuan ini tidak ada baik dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu maupun dalam berbagai Peraturan KPU.

Artinya berapapun besaran angka prosentase partisipasi pemilih, termasuk misalnya hanya mencapai 50 persen atau kurang, Pemilu tetap sah secara hukum. Atau sebaliknya, berapapun besaran angka Golput, termasuk jika tembus ke angka diatas 50 persen, Pemilu tetap sah. Dengan demikian para kandidat terpilih, baik untuk Pemilu Legislatif maupun Pemilu Presiden-Wakil Presiden sah untuk ditetapkan dan dilantik.

Lantas mengapa banyak pihak yang berisik soal potensi angka partisipasi yang rendah sekaligus risau dengan potensi angka Golput yang tinggi?

Karena angka partisipasi pemilih yang rendah (dengan demikian angka Golput tinggi) dianggap mencerminkan rendahnya legitimasi politik para kandidat terpilih. Bahkan kerap juga dimaknai sebagai rendahnya kepercayaan publik terhadap proses politik elektoralnya. Maka partisipasi pemilih harus didorong dan Golput harus dicegah. Berikutnya tulisan ini akan mengurai lebih jauh isu Golputnya.

Golput otentik

Sebelum sampai pada soal bagaimana Golput dicegah, penting terlebih dahulu difahami apa sebetulnya yang dimaksud dengan Golput. Hal ini penting untuk memetakan persepsi tentang Golput secara utuh dan tepat agar solusi yang dipromosikan juga tepat dan relevan.

Secara simplistik dan pukul rata, Golput (Golongan Putih) lazimnya dimaknai sebagai kelompok masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya pada hari pemungutan suara Pemilu. Jika ditelusuri akar sejarahnya pemahaman ini sesungguhnya kurang tepat.

Fenomena Golput pertama kali muncul menjelang Pemilu 1971, Pemilu pertama era di Orde Baru. Diinisiasi oleh sejumlah aktifis mahasiswa dan pemuda yang kecewa atas kebijakan pemerintah berkenaan dengan penyelenggaraan Pemilu. Alasannya mereka menilai tidak ada satu pun partai politik yang bisa menampung dan memperjuangkan aspirasi mereka.  

Istilah Golputnya sendiri dipromosikan oleh Imam Walujo Sumali (mantan Ketua Ikatan Mahasiswa Kebayoran) melalui artikel bertajuk "Partai Kesebelas untuk Generasi Muda" di harian KAMI edisi 12 Mei 1971. Melalui tulisan ini Imam mengusung gagasan partai kesebelas, selain sembilan parpol dan satu Golkar yang akan bertarung di Pemilu 1971.

Sebagaimana diketahui, Pemilu 1971 diikuti oleh hanya 10 peserta. Kesepuluh peserta Pemilu 1971 itu adalah Golkar, Parmusi, Partai Katolik, PSII, Partai NU, Parkindo, Partau Murba, PNI, Partai PERTI, dan Partai IPKI.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun