Pemilih-pemilih mereka, meski pastinya tidak semua, adalah warga negara yang literate secara politik. Karena itu, preferensi mereka terhadap Prabowo atau Ganjar atau Anies mestinya merupakan pilihan sikap rasional. Jadi pilihan mereka tidak semestinya dianggap sepele.
Maka upaya paksa penyatuan dua poros (sekali lagi bagaimanapun opsi formasinya) hemat saya bukanlah pilihan yang bijak. Pilihan ini tidak menghargai sikap para pendukung dari masing-masing poros bakal capres dan sikap-sikap politiknya.Â
Pemaksaan ini potensial melahirkan kekecewaan mereka, lalu memicu sikap antipati terhadap pemilu, dan ujungnya golput bisa tumbuh subur pada 14 Februari 2024 mendatang.
Maka pilihan paling realistis dan bijak sejatinya adalah menerima fakta-fakta politik pencapresan yang hasilnya sudah dicapai saat ini. Ada tiga poros bakal capres yang masing-masing telah memenuhi syarat normatif elektoral.Â
Ketiganya sudah bergerak membangun komunikasi dan soliditas dengan basis-basis pendukung dan pemilihnya. Bahkan juga mulai menyosialisasikan gagasan-gagasan visionernya kepada masyarakat.
Wacana dua poros, terlebih jika dipaksakan, bukan saja telah memubazirkan ikhtiar-ikhtiar para elit partai sendiri. Melainkan juga menegasikan kehadiran, apresiasi, dukungan bahkan ikhtiar memberikan support para pemilih terhadap figur-figur pilihannya.Â
Penting dicatat, dukungan atas masing-masing figur bacapres itu adalah juga dukungan atas pilihan sikap politiknya. Jadi, ada esensi demokrasi deliberatif di sini. Maka, jangan pernah soal ini dianggap remeh-temeh!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H