Pemilu 2024 mendatang akan menjadi perhelatan elektoral sangat penting bagi bangsa Indnoesia. Bukan saja karena momen itu akan menjadi tonggak awal dalam lanskap sejarah demokrasi elektoral Indonesia dimana semua jabatan legislatif dan eksekutif di semua tingkatan akan dipilih serentak dalam tahun yang sama. Melainkan terutama sekali  karena Pemilu 2024 akan menjadi arena pertaruhan bagi 3 (tiga) agenda sekaligus kebutuhan strategis nasional kini dan masa mendatang.
Sebagaimana dimaklumi bersama, dalam dua kali perhelatan Pemilu terakhir di era reformasi, yakni Pemilu 2014 dan Pemilu 2019, bangsa ini telah terseret ke dalam pusaran arus polarisasi (pembelahan) sosiopolitik yang deras.
Polarisasi ini dipicu oleh konflik perkubuan dukungan pasangan Capres-Cawapres yang tidak dapat dikelola dengan baik, yang dampak tak sehatnya terus mengalir melewati batas akhir tahapan Pemilu bahkan residu busuknya masih terasa hingga saat ini. Â
Kita semua tentu berharap polarisasi dan segala macam bentuk ekspresi konflik yang potensial membahayakan bagi harmoni dan keutuhan negara-bangsa tidak terulang lagi dalam Pemilu 2024. Sebab jika masih terulang kembali, apalagi dengan tensi polarisasi yang kian tinggi, bangsa ini bisa gagal menjaga, merawat dan melanjutkan ketiga agenda strategis tadi.
Keutuhan Berbangsa
Ketiga agenda strategis itu, pertama memelihara kohesivitas, menjaga integrasi dan memastikan keutuhan negara bangsa tetap terpelihara. Kohesivitas merupakan situasi dimana setiap anggota kelompok menghendaki untuk tetap berada dalam kelompok tersebut (Dorwan Cartwright dalam Losh, 2002). Sementara Bernice Lott mendefinisikan kohesivitas sebagai jumlah dan kekuatan dari sikap positif diantara anggota kelompok.
Pemilu, dimana konflik merupakan esensi yang tidak dapat dihindari di dalamnya potensial melahirkan polarisasi (pembelahan) masyarakat demikian rupa. Jika tidak  diantisipasi atau salah kelola polarisasi ini bisa menghancurkan bangunan kohesivitas, bahkan tidak mustahil menjurus ke arah yang lebih  berbahaya lagi, yakni disintegrasi bangsa.Â
Oleh sebab itu penting bagi para pihak yang terlibat dalam hajat besar elektoral ini untuk sedini mungkin mendeteksi berbagai potensi yang dapat memicu hadirnya kembali polarisasi ekstrim dalam masyarakat serta mencegahnya dengan bijak dan proporsional.
Dalam upaya mencegah potensi munculnya kembali polarisasi ekstrim dibutuhkan komitmen bersama terutama antar kubu paslon Capres-Cawapres untuk secara serius menghindari cara-cara tak sehat dalam meraih simpati dan dukungan pemilih.
Misalnya dengan mengkapitalisasi sentimen-sentimen primordial dan isu-isu sensitif yang mudah menyulut emosi publik. Dalam konteks ini termasuk penggunaan para buzzer yang biasa dipersiapkan untuk men-downgrade lawan-lawan politik dengan cara-cara nir-adab : fitnah, kampanye hitam, serangan atas sisi pribadi, dan mengumbar ujaran-ujaran provokatif.