Kedua, hengkang dari KPP dan entah akan ke mana jadinya akan membuat Demokrat kehilangan salah satu brand positif yang selama ini telah dibangun dan dirawatnya, yakni partai yang mengusung isu perubahan. Semangat perubahan di balik brand ini dengan sendirinya akan lenyap jika Demokrat tidak memilih kembali bergabung dengan KPP, dan lebih memilih bergabung dengan poros koalisi mana pun yang tersedia saat ini. Bagi Demokrat, selain figur SBY, isu perubahan ini merupakan pembeda yang dalam perspektif marketing politik dapat dikapitalisasi untuk meraih insentif elektoral.
Ketiga, keluar dari KPP lalu memilih bergabung dengan poros koalisi mana pun yang tersedia akan memaksa Demokrat harus memulai lagi adaptasi politik, penyesuaian-penyesuaian dengan kondisi dan situasi baru yang tidak akan mudah dilakukan, kecuali Demokrat bersedia memosisikan diri sebagai "anak bawang" di koalisi barunya. Sementara dengan KPP, bahkan chemistry politik sudah terjalin demikian rupa, terutama berkenaan dengan visi, misi, dan gagasan-gagasan programatik untuk kepentingan perbaikan dan pembaruan bangsa ini ke depan.
Keempat, kembali ke poros KPP dan istiqomah memperjuangkan cita-cita dan visi politiknya untuk masa depan bangsa ini akan membuat Demokrat dihormati dan mendapat tempat yang jauh lebih pantas jika dibandingkan masuk ke poros koalisi yang lain, baik KIM-Prabowo maupun DPIP-Ganjar. Haqul yakin, bahkan PKB yang sudah mendapat kompensasi bakal Cawapres akan sangat respek terhadap posisi Demokrat karena mereka sadar, koalisi yang akhirnya mengusung Cak Imin ini terbentuk lantaran peran kunci Demokrat di awal KPP lahir dan mengonsolidasikan diri. Â
Kalkulasi PragmatisÂ
Kelima, keluar dari kubu KPP lalu bergabung dengan poros koalisi lain yang ada dengan masih menyisakan harapan bisa menjadi bakal Cawapres, tampaknya akan sia-sia. Karena meski Prabowo-KIM dan Ganjar-PDIP sampai sekarang belum memutuskan siapa bakal Cawapres mereka, peluang AHY mendapat satu slot bakal Cawapres tetap kecil. Di kubu Prabowo-KIM sedikitnya sudah ada 4 nama yang mengantre: Erick, Airlangga (bisa juga Ridwan Kamil), Muhajir, dan Gibran. Di PDIP, figur Sandiaga dan Andika agak sulit digeser. Atau mungkin Mahfud atau Yenni Wahid yang diambil sebagai strategi untuk menghambat migrasi suara Nahdliyin ke Anies-Cak Imin.
Â
Last but not least terkait soal yang sangat pragmatis, yakni posisi portofolio politik pasca-Piplres 2024 yang bisa diperoleh. Jika pasangan Anies-Cak Imin berhasil memenangi Pilpres 2024, peluang perolehan portofolio politik di pemerintahan akan jauh lebih besar dengan pos-pos jabatan yang strategis ketimbang yang dapat diraih Demokrat jika bergabung dengan poros koalisi KIM-Prabowo maupun PDIP-Ganjar. Lagi-lagi potensi ini bisa diperoleh Demokrat karena posisi strategisnya di KPP sebagai "ashabiqunal awalun" bagi Anies-KPP. Â Wallahu'alam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H