Per hari ini saya masih membayangkan bagaimana suasana batin SBY-AHY dan keluarga besar Partai Demokrat setelah (merasa) dikhianati oleh kawan seiring, Anies Baswedan dan Surya Paloh, justru pada saat pendaftaran Capres-Cawapres ke KPU kian mendekat. Terluka dan sakit pastinya. Ini manusiawi. Saya berempati tentu saja.
Selain berempati, saya juga turut berharap sebagaimana harapan banyak pihak, sakit mereka tidak akan lama, lukanya akan segera pulih dan sembuh kembali. Harapan publik ini penting bukan hanya bagi Demokrat, tetapi juga bagi bangsa ini.
Bagi Demokrat, pentingnya mereka segera pulih dan move on karena Pemilu kian mendekati masa-masa krusial. Oktober sudah pendaftaran bakal Capres-Cawapres, setelah itu masa kampanye akan segera digelar. Perhelatan besar dengan tingkat kompetisi yang pasti akan sangat sengit ini tentu butuh konsentrasi dan soliditas internal. Jika terus saja "meratapi dan mengutuki" takdir politiknya yang menyakitkan itu, Demokrat akan semakin merugi dan bisa tertinggal dalam banyak sisi kontestasi.
Sementara bagi bangsa ini, harapan itu juga penting karena semua pihak mestinya membayangkan dan menekadkan bersama Pemilu 2024 dilaksanakan dengan penuh kegembiraan dan kedamaian. Pemilu ini kerap disebut sebagai "pesta demokrasi", maka tidak semestinya pada sebuah pesta ada bagian dari komponen bangsa ini yang hadir membawa kepiluan. Â Â Â
Lantas, setelah luka itu sembuh, bagaimana dan ke mana Demokrat sebaiknya melabuhkan pilihan elektoralnya? Pak SBY, Mas AHY dan keluarga besar Demokrat, perkenankan saya menawarkan proposal politik dan argumentasi kalkulatifnya berikut ini.
Sebaiknya KembaliÂ
Saya akan mulai dengan kesimpulan, sebaiknya Demokrat kembali pulang ke KPP. Mengapa harus pulang?
Pertama, karena keputusan mencabut dukungan terhadap Anies sekaligus keluar dari KPP yang kemarin diambil itu adalah keputusan reaktif yang terlampau tergesa-gesa dan dilakukan dalam suasana batin yang dibalut emosi. Jadi, sangat mungkin itu bukanlah keputusan yang tepat, juga tak bijak, dan boleh jadi bukan keputusan yang sungguh-sungguh dikehendaki.
Sebuah 'atsar dari seorang sahabat mulia Rasululloh, Sayidina Ali bin Abi Thalib pernah mengingatkan, "Jangan pernah membuat keputusan dalam kemarahan dan jangan pernah membuat janji dalam kebahagiaan." Tausiyah sahabat Ali ini tentu bukan tanpa maksud. Hal yang sangat umum terjadi bahwa keputusan yang diambil dalam situasi balutan emosi yang meluap seringkali (jika tidak selalu) berdampak tak maslahat di kemudian hari.