Mohon tunggu...
Agus Sutisna
Agus Sutisna Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Dosen | Pegiat Sosial | Menulis berharap ridho Allah dan manfaat bagi sesama.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Budiman dan Reformasi yang Belum Selesai

27 Agustus 2023   11:30 Diperbarui: 27 Agustus 2023   11:36 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Budiman Sujatmiko akhirnya dipecat. Putusan yang sudah diduga banyak pihak bakal diambil oleh PDIP. Karena bagaimana mungkin membiarkan kader "mbalelo", tak tegak lurus dengan keputusan partai justru menjelang perhelatan paling strategis tidak lama lagi bakal digelar : Pemilu 2024. 

Langkah yang seharusnya dilakukan Budiman, solid mendukung pencalonan Ganjar dan berjuang keras untuk memenangkannya nanti, bukan saja diabaikan. Tetapi juga bahkan justru menghadirkan pilihan antitesa dengan mengendors Prabowo sebagai Capres yang dimajukan oleh lawan.

Lalu bagaimana potensi insentif elektoral yang bakal diperoleh Prabowo-KKIR ? Atau, sebaliknya potensi disinsentif Ganjar-PDIP setelah Budiman hengkang meninggalkannya dan bergabung dengan Prabowo ?

Pertama, menyertai langkah Budiman sejak berkunjung ke Prabowo dan pasca pemecatan ini, para koleganya di PDIP ramai-ramai mengumbar sejumlah "cerita miring" tentang Budiman. Yang paling penting meski tidak mengejutkan adalah cerita Budiman minta jatah jabatan Menteri. Kemudian isu Budiman ingkar janji akan menyatukan Ganjar dan Prabowo dalam satu paket Paslon Presiden-Wakpres, menerima uang milyaran dari Prabowo, pun minta jabatan Menteri jika kelak terpilih jadi Presiden. Semua isu ini telah ditepis, dijelaskan dan dibantah oleh Budiman. Apakah ini clear ? Tentu saja tidak.

Bukan soal percaya atau tidak percaya pada bantahan Budiman, bukan. Lagipula itu urusan Budiman dengan nuraninya sendiri. Melainkan  bahwa "cerita miring" ini kadung menjadi pengetahuan publik, diserap kawan dan lawan politiknya, dicatat dalam memori kolektif masyarakat terutama tentu saja para pemilih Prabowo. Dengan "cerita miring" ini Budiman memang jadi tambah popular, tapi dalam konteks kepentingan elektoral ini potensial menjadi disinsentif bagi Prabowo.

Kedua, pemilih yang faham betul sejarah bagaimana jejak Budiman dalam lanskap sejarah reformasi yang telah berhasil menumbangkan rezim orde baru tahu Budiman adalah salah satu ikon reformasi dari kalangan anak muda. Keberaniannya melawan rezim orde baru, termasuk di dalamnya berhadapan dengan ABRI yang represif kala itu menempatkan sosok Budiman pada posisi "dikagumi dan dihormati", setidaknya oleh mereka yang satu frekuensi garis perjuangan.

Perubahan sikap yang serta merta, dari sebut saja aktifis demokrasi, penyokong tegaknya supremasi sipil dan pejuang Hak Azasi Manusia yang telah menjadikan dirinya harus berhadapan secara frontal dengan Prabowo kala itu dan dua dekade setelahnya, menjadi (saat ini) bersahabat dengan Prabowo, potensial bakal "dipertanyakan" orang. Apa yang Budiman cari sesungguhnya ?

Maka alih-alih memberikan insentif elektoral bagi Prabowo, langkah dan sikap Budiman hemat saya justru akan menjadi "boomerang". Setidaknya sahabat-sahabat, kawan-kawan, dan follower politik Budiman tampaknya akan menambah barisan "anti-Prabowo". Bukan karena tidak suka dengan Prabowonya, melainkan karena kecewa pada sikap Budiman yang tetiba saja bergabung di barisan Prabowo. Mereka ada di kubu PDIP dan kalangan yang mengidentifikasi kelompoknya sebagai Aktifis 1998. Ini disinsentif elektoral kedua bagi Prabowo.

Ketiga,  meski menjadi salah satu ikon reformasi dari kalangan muda, tatkala berkpirah sebagai politisi di PDIP Budiman bukanlah kader dan politisi yang mengakar. Populer mungkin, tetapi jauh dari populis. Ia cenderung elitis. Beda dengan sebut saja misalnya Andi Arief (Demokrat) atau almarhum Desmon J. Mahesa (Gerindra), kawan-kawan seperjuangannya.

Nah, kita tahu potensi paling strategis dari ketokohan seorang figur politisi dalam konteks elektoral yang paling dibutuhkan pastilah suara massa. Budiman saya kira tidak termasuk kategori politisi yang memiliki konstituen melimpah dan loyal. Terbukti bahkan ia pernah tidak terpilih sebagai Caleg DPR RI pada Pemilu 2019. Dengan demikian, Prabowo saya kira tidak bisa berharap terlalu banyak dalam aspek ini pada sosok  Budiman. Entah jika untuk kenbutuhan yang lain.

Sampai disini, saya kira cukup untuk menjelaskan bahwa bergabungnya Budiman ke kubu Prabowo-KKIR tidak akan cukup signifikan pada proses dan hasil pendulangan suara nanti. Sebaliknya, kubu Ganjar-PDIP dengan sendirinya juga tidak akan banyak kehilangan suara. Budiman itu hanya punya popularitas, tapi tidak basis massa yang melimpah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun