Mohon tunggu...
Agus Sutisna
Agus Sutisna Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Dosen | Pegiat Sosial | Menulis berharap ridho Allah dan manfaat bagi sesama I Nominee Kompasiana Award 2024 - Best in Opinion

Selanjutnya

Tutup

Politik

Golkar: Dahulu Gigantis, Sekarang Follower

22 Agustus 2023   22:59 Diperbarui: 22 Agustus 2023   23:22 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pertengahan Agustus lalu, Golkar (bersama PAN) akhirnya memilih bergabung dengan Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) yang dibentuk Gerindra dan PKB hampir setahun silam. Peristiwa menarik ini segera saja memicu ragam spekulasi di ruang publik. Spekulasi paling santer adalah bahwa ada faktor Jokowi di belakang pilihan Golkar (juga PAN). Meski kemudian telah dibantah langsung oleh Presiden Jokowi di momen Sidang Tahunan MPR 16 Agustus lalu, dugaan spekulatif ini sama sekali tidak mengendur tensinya dalam perbincangan elektoral.

Dari sisi "karakter" Partai Golkar, ada dua argumen mengapa spekulasi publik  itu muncul lalu berkembang. Pertama, Golkar merupakan bagian dari koalisi pemerintahan Jokowi saat ini. Sementara publik melihat gelagat Presiden Jokowi yang dari waktu ke waktu kian menunjukkan kedekatannya dengan Prabowo. Suatu kedekatan yang dinilai sebagai "isyarat" bahwa Jokowi bakal mengendors Prabowo sebagai calon presiden mendatang. 

Alasan yang kedua adalah Golkar tidak memiliki catatan sejarah menjadi partai oposisi. Sejak orde baru, Golkar senantiasa berada dalam lingkaran pemerintahan. Di era orde baru sepanjang 6 periode pemerintahan Soeharto Golkar selalu menjadi partai yang berkuasa karena selalu memenangi kontestasi Pemilu dengan selisih angka yang telak dibanding dua kompetitornya, yakni PPP dan PDI. Pasca Pemilu ke Pemilu di sepanjang sejarah orde baru Golkar tampil menjadi satu-satunya kekuatan politik, nyaris tanpa tanding. Karena kedigdayaannya ini, Eef Saefullah Fatah pernah menjuluki Golkar sebagai "gigantis", raksasa dalam peta kekuatan politik nasional.

Beralas dua argumen itu, Golkar tampaknya membaca bahwa arah kontestasi Pemilu 2024 akan sangat dipengaruhi secara determinatif oleh sosok Presiden Jokowi. Simpelnya, siapa Capres yang didukung oleh Jokowi berpotensi besar memenangi kontestasi Pemilu 2024. Nah, endorsment Jokowi, paling tidak sampai saat ini, jelas dan kian terang benderang kepada siapa. Dalam konteks ini secara taktis Golkar telah memilih sikap "aman" agar tetap berada di dalam pemerintahan kelak, meski dengan resiko menjadi kekuatan politik pengekor saja.

Lantas bagaimana jika kemudian Presiden Jokowi berubah sikap dan pilihan (dari yang dibaca di depan tadi), mengingat peta koalisi dan dinamika prakandidasi ini masih terus bergerak dinamis dan waktu pendaftaran Capres-Cawapres masih cukup leluasa ? Bacaan saya, Golkar akan tetap menjadi pengekor. Artinya ia akan mengikuti ke arah mana Jokowi mengubah haluan endorsmentnya, kecuali Golkar kemudian melihat pengaruh determinasi Jokowi melemah. 

Dengan demikian, sikap koalisi elektoral Golkar bergabung dengan KKIR hemat saya belum sepenuhnya final dan ajeg. Berbagai kemungkinan masih bisa terjadi, esok atau hari kemudian hingga waktu pendaftaran Capres-Cawapres ke KPU di bulan Oktober nanti tiba.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun