Keempat, dalam KPP ada PKS yang dikenal memiliki kader-kader militan dan infrastruktur mesin partai yang solid dan dinamis di akar rumput. Kelima, para pemilih Prabowo-Sandi di Pemilu 2019 silam yang dikecewakan oleh kedua tokoh ini lantaran sikap politiknya yang kemudian bergabung dengan koalisi pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin tampaknya akan memberikan dukungannya pada koalisi Anies-KPP, bukan pada Prabowo yang dianggap telah mengkhianati kepercayaan mereka di 2019.
Mereka antara lain ada di FPI dan HTI, yang meskipun secara organisasi-kelembagaan telah dibubarkan, massanya terus bergerak di akar rumput dengan semangat mengakhiri barisan status quo. Mereka juga ada di barisan Alumni 212 dan para pemilih muslim yang kritis, yang belakangan makin tumbuh semangatnya dengan kehadiran tokoh-tokoh akademisi yang secara personal juga memberikan perlawanan terhadap status quo seperti Rocky Gerung, Rizal Ramli, Refly Harun, Faisal Basri dll.
Last but not least adalah perpecahan di kalangan Jokowian (relawan dan para pendukung fanatik Jokowi pada dua Pemilu sebelumnya, termasuk pentolan-pentoalan PDIP dan PSI) yang  belakangan merebak ke ruang publik. Hemat saya situasi ini akan menggerus sekaligus potensi dukungan suara baik untuk koalisi yang dibangun PDIP maupun KKIR yang secara statistik tadi memiliki modal suara diatas Anies-KPP.
 Jadi, Anies memang dengan sendirinya habis jika dasar penghitungannya adalah peta kekuatan statis total modal suara yang hanya 25.03%. Tetapi boleh jadi sebaliknya, bahkan Anies bisa keluar sebagai pemenang kontestasi jika alas kalkulasinya adalah faktor-faktor dinamis sosiopolitik elektoral sebagaimana diuraikan diatas.  Wallahu'alam.
Penulis Dosen dan Pegiat Sosial
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H