Mohon tunggu...
Agus Sutisna
Agus Sutisna Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Dosen | Pegiat Sosial | Menulis berharap ridho Allah dan manfaat bagi sesama.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Merdeka dari "Cawe-cawe"

17 Agustus 2023   12:40 Diperbarui: 17 Agustus 2023   12:51 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Merdeka dari "Cawe-cawe"

Sungguh menarik apa yang diungkapkan Presiden Jokowi kemarin dalam Sidang Tahunan MPRI RI di Komplek Parlemen, Senayan Jakarta. Jokowi menegaskan bahwa dirinya bukan ketua umum partai politik, juga bukan ketua koalisi partai. Dan sesuai ketentuan perundang-undangan, yang menentukan capres dan cawapres adalah parpol dan koalisi partai politik.

Clear. Semua orang faham soal normatif ini. Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 amandemen ketiga menyatakan dengan jelas, bahwa "Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum." Kemudian di dalam pasal 221 UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dinyatakan kembali, bahwa "Calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan dalam 1 (satu) pasangan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Pottik.".

Tetapi yang kerap dipersoalkan publik memang bukan aspek normatif itu,  melainkan aspek politik yang menyertai proses pra kandidasi Capres-Cawapres yang saat ini tengah berlangsung. Secara politik publik melihat bahwa Presiden kerap terlalu jauh masuk ke dalam proses penyiapan figur-figur bakal calon presiden Pemilu 2024, mengkooptasi kewenangan partai politik, dan akhirnya terlihat jelas partai-partai seperti kehilangan kedaulatan dan otonominya.

"Cawe-cawe". Demikian istilah yang digunakan sendiri oleh Jokowi beberapa waktu lalu dan memicu pro-kontra dalam masyarakat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata "cawe-cawe" memiliki makna ikut membantu mengerjakan (membereskan, merampungkan) dan ikut menangani. Pihak istana menjelaskan bahwa "cawe-cawe" yang dimaksud Jokowi adalah dalam rangka mengawal Pemilu Serentak 2024 berlangsung jujur, adil, dan demokratis.

"Terkait penjelasan tentang cawe-cawe untuk negara dalam pemilu, konteksnya adalah, presiden ingin memastikan Pemilu serentak 2024 dapat berlangsung secara demokratis, jujur dan adil," demikian terang Bey Machmudin Deputi Bidang Protokol, Pers, dan Media Sekretariat Presiden (Kompas.Com, 6 Juni 2023). Sampai di sini maksud "cawe-cawe" Jokowi terbaca normal dan masih dapat diterima nalar sehat demokrasi.

Tetapi ketika masuk ke penjelasan selanjutnya, bahwa Jokowi juga ingin pemimpin nasional ke depan dapat mengawal dan melanjutkan kebijakan-kebijakan strategis, seperti pembangunan Ibu Kota Negara (IKN), serta hilirisasi dan transisi energi bersih, urusannya menjadi bias. Narasi ini menjadi bias karena ada kesan Jokowi ingin presiden mendatang adalah figur yang satu "frekuensi" saja dengan dirinya.

Oleh sebab itu, siapa figur dan dari partai mana yang jadi presiden nanti haruslah orang yang dia persiapkan. Orang ini tentu saja yang harus sesuai kriterianya, harus sesuai preferensi politiknya, dan sudah pasti harus siap "didikte" dengan "blue print" pikiran dan orientasi kepemimpinan yang sudah dipersiapkan Jokowi. Ini artinya, Jokowi mendahului kehendak dan pilihan rakyat yang nyata-nyata tidak akan lagi memilihnya sebagai presiden karena ruang yang diberikan konstitusi sudah habis.

Nalar dan "cawe-cawe" yang demikian itu tentu saja tidak lazim dalam tradisi demokrasi yang sehat. Presiden-presiden kita terdahulu juga tidak pernah melakukannya. Habibie, Gus Dur, Megawati, bahkan juga SBY yang pernah mendapat mandat dua kali menjabat, mereka semua tidak berusaha menyiapkan figur-figur tertentu untuk menjadi penerusnya. Mereka sama sekali bersih dari "cawe-cawe" sebagaimana yang dilakukan Jokowi.

Cawe-cawe Berbuah Bumerang 

Sekira dua bulan lalu, ketika isu "cawe-cawe" yang diakui sendiri oleh Jokowi dan akan dilakukannya terus di Pemilu 2024 ini dengan alasan klise untuk kepentingan bangsa dan negara, PDIP pernah memberikan pembelaan. Dalam sebuah event, Hasto Sekjen PDIP menilai pernyataan Jokowi ingin "cawe-cawe" adalah untuk loncatan kemajuan negara. Ia beralasan, PDI-P memandang Jokowi adalah seorang negarawan. Oleh karena itu, PDI-P tak memandang maksud Jokowi "cawe-cawe" sebagai hal negatif yang dilakukan seorang Kepala Negara (Kompas.Com, 5 Juni 2023). Saat itu endorsement Jokowi terhadap Prabowo belum cukup kental.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun