Selain keempat gejala diatas, dalam konteks spesifik demokrasi elektoral, penulis juga mencermati Indonesia sedang dihadapkan pada sejumlah problematika yang tak kalah mencemaskan berikut ini.
Pertama menguatnya politik identitas, yakni penggunaan simbol-simbol primordialistik terutama agama dan etnik untuk kepentingan menyerang dan menjatuhkan lawan politik sekaligus mengambil keuntungan darinya.
Demokrasi memang memberikan kebebasan kepada setiap orang untuk mengekspresikan ikatan-ikatan primordialistiknya, entah itu agama, budaya, etnik, lokalitas dsb.
Konstitusi kita juga memberikan jaminan akan hal ini. Akan tetapi semuanya tentu harus dilakukan dalam koridor prinsip-prinsip inklusifitas, kesetaraan, toleransi dan kepatuhan atas norma-norma yang disepakati (Pancasila).
Dalam kerangka kontestasi kekuasaan untuk mendapatkan calon-calon pemimpin yang ideal, prinsip-prinsip ini juga masih membutuhkan aspek-aspek kompetensi, kecakapan dan kelayakan dari para kandidat. Politik identitas yang mengabaikan prinsip-prinsip luhur demokrasi dan konsensus atas nilai-nilai luhur Pancasila sebagai ideologi bangsa potensial akan merusak kohesifitas sosial, memicu pembelahan dalam masyarakat dan ujungnya tentu dapat menjurus pada disintegrasi bangsa.
Kedua, berkembangnya praktik politik dinasti terutama di daerah. Pilkada langsung yang digagas sebagai jalan untuk mengkonsolidasikan demokrasi di tingkat lokal dengan memberikan keleluasaan kepada masyarakat di daerah untuk memilih langsung para pemimpinnya di banyak daerah terdistorsi oleh fenomena kebangkitan dan merebaknya praktik politik dinasti.
Suatu praktik politik dimana regenerasi kekuasaan disiasasti demikian rupa agar tetap berada di tangan satu keluarga secara terus-menerus.
Dalam beberapa tahun terakhir fenomena tersebut bahkan mengalami proliferasi (persebaran dan perluasan) dimana praktik politik dinasti terjadi bukan hanya di ranah negara (eksekutif dan legislatif) melainkan juga merambah masuk ke arena non-negara terutama di dunia bisnis dan sosial-kemasyarakatan lainnya.
Ketiga, membiaknya bandit-bandit lokal (stationary bandits) yang memanfaatkan ladang subur kebebasan berkiprah yang disediakan oleh otonomi di berbagai daerah.
Fenomena ini kontraproduktif dengan semangat mewujudkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat daerah sebagai visi otonomi, karena para bandit itu bukan saja kerap merecoki sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah, namun juga sekaligus menimbulkan banyak kerusakan dan kerugian bagi rakyat di berbagai daerah lantaran dominasinya (bahkan kerap sangat monopolistik) atas pelbagai sumberdaya ekeonomi lokal.
Keempat, gejala elektoralisme yang telah menyita terlalu banyak energi kolektif pelbagai elemen bangsa semata hanya untuk urusan menang-kalah dalam kontestasi kekuasaan.