Mohon tunggu...
Agus Sutisna
Agus Sutisna Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Dosen | Pegiat Sosial | Menulis berharap ridho Allah dan manfaat bagi sesama I Nominee Kompasiana Award 2024 - Best in Opinion

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pemda Tanpa Wakil Kepala Daerah

12 Januari 2012   11:18 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:59 622
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak Pilkada (kemudian Pemilukada) langsung digelar tahun 2005 silam, sejumlah Wakil Kepala Daerah terpilih mengundurkan diri sebelum masa jabatannya berakhir. Alasannya macam-macam. Ada yang merasa tidak difungsikan oleh Kepala Daerah-nya; ada yang merasa tidak memiliki kecocokan dengan Kepala Daerah-nya. Bahkan ada yang mundur karena persiapan menghadapi kontestasi Pemilukada periode berikutnya sebagai bakal calon Kepala Daerah. Jadi, berniyat mau “naik kelas” kekuasaan, begitu ceritanya.

Tetapi sejauh ini tidak pernah ditemukan kabar, bahwa mereka mundur lantaran merasa tidak “kebagian kue” yang pantas dalam sharring rizki sebagai pemimpin daerah. Ini mungkin perkara yang kurang etis jika dikemukakan di ranah publik, meski cerita-cerita undercover yang berkembang di masyarakat, faktor inilah justru yang paling determinatif. Dan inilah pula dugaan penyebab hipotetiknya, jika kemudian para Wakil Kepala Daerah yang mundur itu, maju lagi dalam perhelatan Pemilukada periode berikutnya, dalam posisi sebagai bakal calon Kepala Daerah.

Dalam konteks itulah kita menyaksikan pentas “drama politik telanjang bulat” dari orang-orang dan atau partai politik yang mengumbar syahwat kuasa untuk semata-mata berkuasa; dan bukan untuk menggunakan kekuasaan itu bagi kepentingan mewujudkan hakekat kedaulatan rakyat, yang esensinya harus dimaknai sebagai usaha mewujudkan kesejahteraan, kebahagiaan, dan keadilan rakyat.

Perspektif Pemerintahan

Selama puluhan tahun bangsa ini tidak pernah memiliki tradisi politik “Wakil Kepala Daerah” sebagai pendamping Kepala Daerah. Dan ini terbukti tidak pernah jadi masalah dalam kerangka manajemen dan tatakelola pemerintah daerah. Euphoria reformasi yang cenderung berpijak pada kehendak “melahirkan segala hal baru, dan menumpas semua yang serba bau orde baru” kemudian mengimbas kedalam paradigma baru dalam mendesain pemerintah daerah.

Adalah UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang pertama kali memberikan landasan hukum bagi praktik kekuasaan pemerintah daerah yang memberi ruang bagi kehadiran jabatan Wakil Kepala Daerah. Jika dianalisis secara kritis, pasal-pasal yang mengatur kedudukan dan tugas Wakil Kepala Daerah didalam UU ini sebetulnya bukanlah kedudukan dan tugas yang khas. Substansi kedudukan dan tugas-tugas ini tidak berbeda jauh dengan kedudukan dan tugas Sekretaris Daerah, yakni “membantu dan bertanggungjawab” kepada Kepala Daerah.

Di dalam Pasal 30 UU 22/1990 dinyatakan bahwa “Setiap Daerah dipimpin oleh seorang Kepala Daerah sebagai Kepala Eksekutif yang dibantu oleh seorang Wakil Kepala Daerah”. Pasal 57 ayat (1) menyatakan, “Wakil Kepala Daerah mempunyai tugas : a) membantu Kepala Daerah dalam melaksanakan kewajibannya; b) mengkoordinasikan kegiatan instansi pemerintah di Daerah, dan; c) melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh Kepala Daerah”. Pasal 57 ayat (2) menyatakan, “Wakil Kepala Daerah bertanggungjawab kepada Kepala Daerah”.

Sekali lagi, tidak ada yang khas dengan kedudukan dan tugas itu. Silahkan dibandingkan dengan Pasal 61 ayat (5) UU tersebut, yang menyatakan bahwa “Sekretaris Daerah berkewajiban membantu Kepala Daerah dalam menyusun kebijakan serta membina hubungan kerja dengan dinas, lembaga teknis, dan unit pelaksana lainnya”. Kemudian didalam ayat (6)nya dinyatakan pula, bahwa “Sekretaris Daerah bertanggungjawab kepada Kepala Daerah”.

Euphoria berdemokrasi kemudian makin menegaskan dan memperkuat kehadiran posisional Wakil Kepala Daerah dalam konteks kepolitikan lokal. UU 32/2004 yang kemudian menjadi dasar pengaturan berikutnya mengisyaratkan hal ini. Ia, mengikuti posisi politik Kepala Daerah, tidak lagi dipilih dalam satu paket dengan Kepala Daerah oleh DPRD. Melainkan dipilih langsung oleh rakyat, dengan “kesan baru” : posisinya politiknya seolah menjadi sama penting dengan Kepala Daerah. Dan ini terutama diindikasikan oleh rangkaian prosesi pencalonan, pengambilan sumpah dan pemberhentian/pengunduran diri Wakil Kepala Daerah dalam masa jabatanya.

Tetapi dari sisi manajemen kepemerintahan, kedudukan dan tugas Wakil Kepala Daerah tidak mengalami banyak perubahan substantif, kecuali penambahan beberapa tugas operasional. Intinya tetap sama, yakni “membantu tugas-tugas” dan bertanggungjawab kepada Kepala Daerah. Demikian pula halnya dengan kedudukan dan tugas Sekretaris Daerah.

Dalam banyak hal substantif, kedudukan dan tugas-tugas kepemerintahan Wakil Kepala Daerah dan Sekretaris Daerah sebetulnya bisa saling dipertukarkan. Yang membedakan keduanya hanya terletak pada konsepsi posisional yang mendikotomikan antara aspek politik dan pemerinatah. Wakil Kepala Daerah menduduki jabatan/posisi politik; sedangkan Sekretaris Daerah menduduki jabatan/posisi birokrasi (pemerintah). Hakikat kedudukan dan tugas kepemerintahan keduanya, sekali lagi, tidak berbeda jauh, jika tidak dapat dikatakan sama dan sebangun.

Jadi, tanpa Wakil Kepala Daerah pun, manajemen kepemerintahan daerah sebetulnya tetap dapat diselenggarakan dengan baik, sepanjang terdapat pos jabatan Sekretaris Daerah.

Sumbernya Euphoria Politik

Posisi yang terkesan “penting dan strategis” dari jabatan Wakil Kepala Daerah dalam kerangka manajemen kepemerintahan sebetulnya berawal dari euphoria politik yang meyakini bahwa kehadiran pos jabatan Wakil Kepala Daerah adalah pilihan yang dianggap lebih demokratis; dan lebih pas pula dengan semangat paradigmatika otonomi (daerah). Tidak lebih didasarkan pada rasionalitas pertimbangan kebutuhan nyata dari aspek tatakelola kepemerintahan daerah.

Itu sebabnya, prosesi rekruitmen Wakil Kepala Daerah kemudian memang menjadi sangat bercorak serba politik, meskipun ia sebetulnya hanya merupakan “pembantu” pejabat politik, yakni Kepala Daerah. Gagasan pemerintah (draft RUU Pemilukada) agar Wakil Kepala Daerah kelak diangkat dari kalangan birokrat senior oleh Kepala Daerah terpilih, dan tidak dipilih oleh rakyat atau DPRD dalam satu paket dengan Kepala Daerah, merupakan pikiran dan kesadaran konfirmatif, bahwa Wakil Kepala Daerah sejatinya memang tidak harus diberi posisi sebagai jabatan politik murni karena toh ia hanyalah merupakan “pembantu” Kepala Daerah.

Hanya saja, menurut hemat penulis, gagasan pemerintah itu jadinya “setengah hati” dan cenderung masih kompromistis. Dengan mekanisme seperti itu, “jenis kelamin” posisi Wakil Kepala Daerah jadi mirip “banci”. Kedudukannya tetap pejabat politik. Sementara mekanismenya lebih dekat kepada corak birokrasi karena diangkat. Dalam pada itu, kedudukan dan tugas fungsionalnya tetap sama : “membantu dan bertanggungjawab” kepada Kepala Daerah.

Tidak Melanggar Konstitusi

Bertolak dari pelbagai pertimbangan tadi, ditambah dengan kebutuhan melahirkan kepemimpinan lokal yang solid, efesiensi anggaran daerah, mengurangi beban biaya sosial, politik dan ekonomi dalam proses Pemilukada, mungkin akan lebih tepat dan produktif jika pilihannya adalah menghapus pos jabatan Wakil Kepala Daerah. Baik di provinsi, kabupaten maupun kota. Tugas-tugas fungsionalnya kemudian dialih-limpahkan kepada Sekretaris Daerah. Soal-soal teknis regulatif terkait lainnya bisa didiskusikan lebih jauh oleh Pemerintah dan DPR kelak pada saat pembahasan RUU Pemilukada.

Pilihan ini tampaknya memang tidak akan populer, terutama dikalangan partai politik. Sebab jika ini diwujudkan, salah satu “sumberdaya” ekonomi-politik partai-partai jadi hilang. Tetapi, partai sebagai salah satu pilar utama melalui apa hakekat kedaulatan rakyat dikongkritkan wujud-wujud fungsional dan faedahnya seperti kesejahteraan dan kebahagiaan rakyat, mestinya juga bisa legawa dan berpikir bijak, bahwa rakyat sesungguhnya lebih membutuhkan model-model yang sederhana tetapi produktif dalam tatakelola kekuasaan dan pemerintahan, ketimbang yang rumit-rumit dan cenderung berbiaya tinggi, baik sosial, ekonomi maupun politik.

Dan yang pasti, gagasan mengkonstruksi ulang pos kepemimpinan daerah dengan melikuidasi jabatan Wakil Kepala Daerah, sama sekali tidak bertentangan, baik dengan prinsip demokrasi maupun konstitusi, khususnya Pasal 18 ayat (4).

Penulis adalah dosen dan peneliti, alumnus program

pascasarjana ilmu pemerintahan Universitas Satyagama Jakarta

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun