Selama dekade terakhir, Indonesia diwarnai dengan aksi-aksi politik aliran, yang bersemangat sektarian. Misalnya saja, setelah tak ada lagi penyeragaman awal dan akhir Ramadhan bagi umat Islam, toh dalam masa reformasi ini, penganut aliran atau tarekat Islam mendapat kebebasan mereka untuk beribadah, walaupun tak sama dengan waktu mayoritas Islam. Sesungguhnya, akar rumput masyarakat Indonesia ini, aliran seagama, ataupun berbeda agama, tidak pernah menjadi pemantik konflik. Bahkan kita sesungguhnya saling menghormati, dan hal itu adalah kekayaan yang telah dimiliki oleh Indonesia, sejak ia bernama Nusantara.
Bermunculannya aksi kekerasan sepihak dengan menggunakan simbol agama, mengalami peningkatan yang signifikan dan mengancam kehidupan berbangsa. Pihak-pihak yang menjadi korban dari aksi kekerasan bertopeng agama ini sangat beragam, mulai dari individu, pedagang, tempat ibadah dan umatnya, bahkan artis sekalipun !
Tapi sejak kapankah mulai ada serangan terhadap rumah ibadah, pengusiran masyarakat Syiah dari rumah mereka, atau pengrusakan hak milik orang lain, namun paradoksnya sembari melafalkan pekikan kebesaran Tuhan?
Sejak fundamentalisme berbalut Islam itu menguasai panggung politik Indonesia, dan mereka memiliki akses terhadap kebijakan dan pemimpin.
Kasus-kasus tak bermoral yang dengan sengaja mamakai sensitifitas perbedaan ini, menjadi senjata utama barisan pendukung Prabowo. Sejak awal, mereka selalu konsisten menghembuskan isu rasial dan agama terhadap lawan politik tuannya. Kemudian bak membabi buta, membuat Obor Rakyat, tabloid fitnah yang sengaja disebar ke basis-basis masyarakat religius. Mereka berharap, masyarakat religius di Indonesia ini memiliki otak cetek dan logika pendek khas ekstrimis seperti mereka. Karena, kepercayaan diri dan logika yang mereka bangun adalah, dalan ke-bhinneka-an ini, pihak mereka yang paling bersih dan suci, serta paling benar. Yang tak setuju dengan pendapat mereka; Otomatis KAFIR, MUSYRIK, dan FASIQ.
Tetapi, bukan Prabowo jika tidak musang berbulu ayam. Seakan tidak mau kehilangan momentum untuk unjuk diri agar dianggap pro-keberagaman, Prabowo pun ikut bersuara. "Kita menyesal setiap tindak kekerasan apalagi bermotif SARA. Kita harus jaga kerukunan, jaga perdamaian, dan kita tidak boleh membenarkan setiap upaya untuk menimbulkan perpecahan di antara rakyat kita."
Duhai, merdu nian solek lidah Prabowo ini. Pemelihara kuda yang baik ini menanggapi aksi kekerasan yang dilakukan sekelompok orang terhadap direktur salah satu penerbit di Yogya beberapa waktu lalu. Lidah memang tidak bertulang. Pernyataan-pernyataan manis di hadapan media massa mudah saja diucapkan. Namun adakah niat yang tulus dari seorang Prabowo Subianto untuk membereskan aksi-aksi kekerasan bermotif SARA? Mari kita ikuti rekam jejaknya.
Beberapa waktu lalu, kita dibuat tercengang oleh kabar yang memberitakan bahwa Hatta Rajasa meminta dukungan kepada FPI. Dalam pernyataannya yang dimuat di media, Hatta mengklaim bahwa dengan adanya dukungan dari seluruh jamaah umat muslim, dirinya berharap dapat menjaga kerukunan antar bangsa dan keyakinan antar warga Negara Indonesia. Permintaan ini dengan sigap disambut dengan deklarasi FPI mendukung pasangan Prabowo-Hatta.
Amboi! Sungguh alasan yang datang dari hati yang tak tahu malu. Sejak kapan FPI dapat diandalkan untuk menjaga kerukunan antar anak bangsa dan keyakinan warga negara? Itu seperti menitipkan anak sapi menyusu kepada serigala!
Sungguh pernyataan yang mengolok-olok masyarakat yang pernah menjadi korban kekerasan FPI di akar rumput. Pernyataan yang menginjak-injak dan menafikan aksi-aksi kekerasan dan intimidasi berkedok agama, yang selama ini sudah dilakukan oleh FPI.
Berdasarkan laporan yang disusun oleh Wahid Institute pada tahun 2011, ormas Front Pembela Islam (FPI) menempati urutan pertama dalam daftar pelaku tindakan intoleran atas dasar agama dan keyakinan, yang disertai intimidasi dan kekerasan di berbagai wilayah di Indonesia. Sepanjang tahun 2011 saja, FPI telah melakoni 38 kasus kekerasan (atau sekitar 18%) dari total 184 kasus insiden intoleran yang terjadi. Data itu belum ditambahkan dengan aksi-aksi penyerangan FPI terhadap jamaah Ahmadiyah dan Kristen di berbagai daerah, yang terjadi sepanjang tahun 2012-2013. FPI dengan rekam jejak yang anti terhadap toleransi beragama di Indonesia memang bukanlah barang baru. Bukti ini semakin dikuatkan dengan pernyataan Imam Besar FPI, Habib Rizieq dengan berapi-api menyerukan untuk memilih caleg yang siap memenangkan syariat Islam dalam Pemilu 2014.
Entah syariat Islam yang mana yang dimaksud Habib Rizieq, yang pasti bukan Islam yang Rahmatan lil alamin. Dan benar-benar membuat mata kita terbuka, bahwa di belakangn Prabowo, ada kelompon yang siap dengan pentungan, bukan militer atau polisi, tetapi masyarakat sipil, namun mereka siap memerangi masyarakat sipil yang tak sepaham dengan mereka. Inilah sesungguhnya pertimbangan Prabowo-Hatta mengajak FPI bergabung dalam barisannya. Karena memang seperti apa yang mereka yakini, kemenangan harus milik mereka, jika harus membenturkan sipil dengan sipil, membiarkan organisasi paramiliter ‘menghabisi’ rakyat yang tak setuju dengan mereka; Prabowo harus menang DENGAN CARA APAPUN!
Lain FPI, lain pula Amien Rais. Ia yang semakin tua, sepertinya tak ingat Izrail dapat kapan saja mencabut nyawa. Dan ia akan berhutang selamanya, karena berani-beraninya menyamakan pilpres dengan Perang Badar.. Sepertinya tokoh Muhammadiyah itu lupa, bahwa Perang Badar itu adalah perang umat muslim melawan kafir Quraisy. Sedangkan pilpres ini proses demokrasi, peralihan kepemimpinan, proses pembelajaran politik. Dan ia dengan sengaja menyamakan kubunya dengan pihak muslim, dan kelompok Jokowi dengan kaum kafir.
Manusia istimewakah Anda itu Amien Rais, sehingga merasa pantas mengkafirkan orang lain, bahkan menuding sesama muslim? Lupakah engkau Pak Tua, bahwa Rasulullah bersabda bahwa perperangan terdahsyat tak sebanding dengan Perang Badar adalah perang melawan hawa nafsu sendiri? Ya! Perang melawan hawa nafsu untuk berkuasa misalnya, yang sepertinya sudah 16 tahun tertahan-tahan dalam dirimu.
Baiklah, ternyata rekam jejak Amien Rais tak seharum namanya yang dulu ia sendiri menasbihkan diri sebagai tokoh reformasi. Rekam jejak Amien Rais terlihat dari keterlibatannya dalam penggerakan konflik berbau SARA sudah tercatat sejak dulu. Pada tanggal 7 Januari 2000, bersama-sama FPI, dia menghadiri tabligh akbar yang dihadiri sekitar 40.000-10.000 orang di Monumen Nasional Jakarta. Tabligh Akbar itu menghimbau agar orang Muslim berjihad ke Ambon.
Ternyata, ia kesenangannya sama dengan FPI, yaitu membenturkan masyarakat sipil dengan sipil. Menarik-narik konflik sosial kepada konflik agama. Dan tak pernah hadir sebagai tokoh nasional yang menjadi penyejuk dan penggagas rekonsiliasi. Bukan hadir untuk mendamaikan. Tetapi mengobarkan kebencian serta kesumat. Dan lebih menyedihkan lagi, semua itu dibalut dengan atas nama Tuhan, Allah yang Maha Besar, serta ayat-ayat Al-Quran. Sungguh, sepertinya mulut dan lidahnya bukannya berwudhu’ dengan air, tetapi dengan uang dan kekuasaan.
Dan yang lebih memalukan adalah Partai Gerindra sendiri. Hadir dengan manifesto bernuansa diskriminatif terhadap perbedaan dalam beribadah dan beragama. Yang sungguh menggelikan, pokok bahasan tersebut akhirnya dihapus, dan mengakui bahwa poin tersebut dibuat tergesa-gesa ketika hendak mendaftarkan partai Gerindra sebagai persyaratan administratif.
Jangan bikin partai, jika hanya mampu setengah-setengah, Bung! Jangan bikin partai jika tak mengerti landasan bernegara di Indonesia ini apa. Lihat saja dari tindakan penghapusan poin pemurnian agama, ini HANYA dilakukan akibat desakan masyarakat luas. Hal ini menunjukkan kegagapan internal partai Gerindra terhadap permasalahan bangsa yang sesungguhnya. Mereka melakukan itu, ya hanya demi kembali meraup simpati. Mereka mendirikan partai tapi sebenarnya tak mampu meneropong permasalahan bangsa apa yang hendak mereka selesaikan melalui partai itu. Ya, maklum, Gerindra HANYA DIDIRIKAN untuk menjadi jalan bagi Prabowo meraih kursi presiden. Dan mereka memang siap melakukan APAPUN agar Prabowo menang. Menjilat ludah sendiri pun tak masalah.
Negara Indonesia dibangun di atas realitas masyarakat yang multi etnis, multi kultur, multi religi, dan multi bahasa. Kemajemukan ini diikat oleh dasar Negara Pancasila, sebagaimana pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945. Pancasila telah terbukti mampu menjadi perekat identitas bangsa Indonesia lepas dari penjajahan dan juga sekaligus menjadi perekat keberagaman budaya, agama maupun suku. Hanya pemimpin yang berhati Pancasila sesungguhnya, yang memiliki kesadaran atas ke-bhineka-an, bukan lantaran setelah dikritik secara luas baru berubah pikiran.
Sudah jelas, jika Prabowo dikelilingi oleh barisan penghasut SARA, maka tak diragukan lagi landasan ke-bhinekaan-an, Pancasila sesunggunnya telah lama dicampakkan olehnya. Â Jika sekarang ia menempatkan lambang Garuda di setiap baju yang dipakainya, ia hanya mengakomodir satu warna, ia 'memurnikan' perbedaan itu menjadi hanya satu warna. Maka yang diayomi dan dilindungi oleh negara jika ia terpilih, adalah orang-orang yang setuju dengannya. Jika ada yang berlawanan dengan kata hatinya, maka akan 'dimurnikan' dengan pentungan!
Sindikat Jogja
Lihat Laporan Kebebasan Beragama dan Toleransi di Indonesia, The Wahid Institute 2011; diunduh melalui http://indonesiatoleran.or.id/wp-content/uploads/2012/11/LAPORAN-KEBEBASAN-BERAGAMA-WI-2011-MEDIA.doc
http://www.solopos.com/2014/05/27/pilpres-2014-hatta-rajasa-minta-dukungan-fpi-509989
http://nasional.kompas.com/read/2014/06/22/0852583/Gerindra.Dengan.Cara.Apapun.Prabowo.Harus.Menang.
http://www.merdeka.com/politik/samakan-pipres-dengan-perang-badar-amien-rais-provokasi-rakyat.html
Junus Aditjondro, George. Orang-Orang Jakarta di Balik Tragedi Maluku (4).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H