Akhir belakangan ini, berita mengenai divestasi saham freeport kembali menyeruak di jagat netizen dan berbagai media sosial. Sebagai pengguna internet yang bijak, ada baiknya Kita harus mencari informasi yang valid dari berbagai sumber agar tidak terceblos dalam kabar yang keliru.
Permasalahan soal keabsahan saham tambang emas terbesar di Indonesia ini sebenarnya bukan lagi hal baru, berbagai pro dan kontra mewarnai setiap pembahasannya. Tak menyiakan kesempatan, Saya pun hadir dalam diskusi bertajuk Forum Merdeka Barat 9 yang mengangkat tema hal tersebut dengan penjelasan lebih mendalam oleh para narasumber yang menghadirkan Dirjen Minerba Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono, Head of Corporate Communications PT Inalum Rendi Achmad Witular, serta pengamat Ekonomi Fahmy Radhi.
Saat ini pemerintah tengah berupaya untuk mengembalikan kedaulatan negara di pertambangan melalui cara divestasi saham sebanyak 51% PT Freeport Indonesia (PTFI). Langkah ini sebagai bentuk mewujudkan Kedaulatan Negara sesuai amanat UUD 1945 terutama yang tertuang dalam pasal 33. Tak sekedar itu saja, asas Pancasila pun menjadi bahan dasar bagi pemerintah untuk mengelola perekonomian Indonesia misalnya sebagai landasan dalam menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Setelah melewati berbagai negoisasi kemudian di sepakati bahwa PT Inalum (Indonesia Asahan Aluminium) - Persero yang akan menjadi kepanjangan tangan pemerintah dan BUMN Â dalam proses divestasi ini nantinya. Tahap awal yang berlangsung pada 12 Juli 2018 lalu pihak-pihak terkait seperti Inalum, Freeport McMoRan dan Rio Tinto sudah menandatangani Heads Of Agreement (HoA) dimana perjanjian ini tidak mengikat. Adapun tujuannya agar lebih memperjelas kepastian transaksi pembelian saham, layaknya sebuah titik terang yang memberi harapan, sebab pokok terberat dari divestasi mencakup harga serta struktur transaksi.
Jika masih terasa asing dengan nama Rio Tinto, ini adalah sebuah perusahaan tambang dunia yang berkedudukan di Inggris. Belakangan ini, nama raksasa tambang tersebut hampir selalu muncul dalam negosiasi berkaitan dengan proses divestasi PT Freeport Indonesia. Hal ini tak terlepas dari kepemilikan sahamnya di freeport yang kurang lebih 40% dan oleh sebab itu untuk mencapai target 51% sebagai mana perencanaan maka harus ada pengambil alihan kembali ke kedaulatan Indonesia.
Setidaknya ada tiga kesepakatan HoA yang harus diselesaikan Indonesia :
1. Perjanjian pengikat jual beli atau purchase and sales agreement.
2. Shareholder agreement atau perjanjian kesepakatan antara pemegang saham dengan pemegang saham baru.
3. Exchange Agreement atau pertukaran informasi antara pemegang saham baru dengan pemegang saham lama.
HoA menjadi bagian dari proses divestasi dengan tidak mengesampingkan kewajiban lain yang harus dipenuhi PTFI, seperti pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian. Oleh sebab itu, diminta kepada seluruh publik tidak memandang negatif dahulu sebab HoA merupakan hal yang biasa dalam bisnis modern, yang tidak terikat hukum tapi justru secara moral sebagaimana yang diungkapkan Bambang.