Pendidikan formal yang diakui oleh masyarakat dan negara umumnya dikenal sebagai model pendidikan dengan strategi dan manajemen yang sangat bagus, bahkan sekarang produk-produk hukum lahir untuk mengatur sektor pendidikan di Indonesia, mulai dari UU guru, Sisdiknas N0. 23, BHP ( sudah dicabut) dan berbagai produk lainya dengan dalih agar pendidikan Indonesia menjadi lebih baik dan bisa bersaing di dunia internasional. Benar bahwa dengan adanya berbagai produk hukum yang mengatur sektor pendidikan di Indonesia bisa menjadikan pendidikan di Indonesia lebih baik, bahkan gaya pendidikan Indonesia sekarang sudah menyerupai gaya barat seperti Amerika. Kita patut berbesar hati karena kita tidaklah harus sekolah atau kuliah ke Amerika sebab gaya pendidikan barat seperti amerika sudah bisa kita dapatkan di Indonesia.
Hadirnya UU BHP menjadikan sektor pendidikan kita (Indonesia) sebagai lahan bisnis bagi para kapitalis berambut hitam, seperti yang pernah dilontarkan Presiden SBY dalam sambutan pada Rakernas HIPMI yang disiarkan secara langsung oleh beberapa stasiun TV swasta nasional belum lama ini yang dalam sambutannya mengatakan bahwa adik-adik HIPMI di pundak adik-adik semualah masa depan bangsa akan jadi lebih baik, ada banyak hal, ada banyak bidang yang bisa dijadikan sumber pendapatan ….seperti bisnis di bidang pendidikan… Sampai disini, kontoversi UU BHP sepertinya tidak perlu diperdebatkan lagi bahwa adanya BHP dapat beralihnya sektor pendidikan kita menjadi lahan bisnis kapitalis asing maupun lokal.
Dari penjelasan di atas, kita mungkin sepakat bahwa model pendidikan Indonesia seperti yang dikenalkan oleh mantan mendiknas Indonesia Ki Hadjar Dewantara yang juga sebagai bapak pendidikan nasional Indonesia dengan sistem among melalui tamansiswa sudah ketinggalan zaman dan tentuya tidak relevan lagi untuk diterapkan di Indonesia sekalipun bahwa sistem among sangatlah sesuai dengan mental dan budaya orang indonesia sampai saat ini, namun pada kenyataanya tamansiswa sebagai model pendidikan indonesia tidak cukup mampu untuk tetap dan terus mempertahankan apa yang telah diwariskan oleh Ki Hadjar Dewantara dan kemudian terjebak dan tunduk pada model yang diterapkan oleh pemerintah. Pada saat yang sama pula tansiswa juga ternyata tidak mampu menjadikan tamansiswa sebagai sebuah model pendidikan alternative. Akibatnya, banyak orang akhirnya tidak mampu untuk mengenyam pendidikan formal, belum lagi dengan tetap adanya UN yang kemudian menjadi standar yang berlaku dari Sabang sampai Merauke, hal ini tentu dapat menimbulkan efek psikis munculnya pesimis bagi peserta didik sebab hal-hal yang dipelajari bertahun-tahun akhirnya ditentukan dalam UN dalam beberapa jam saja.
Berbeda dengan apa yang terjadi di Dusun Clawer, Desa Pengasih, Kecamatan Pengasih Kabupaten Kulon Progo ini, sekalipun lokasinya yang dekat dengan ibukota kecamatan dan berdampingan dengan Kota Wates namun masi menjadi daerah terisolir, yang diindikasikan dengan sarana dan prasarana yang sangat minim, belum adanya jalan masuk kampung serta angka buta aksara di dusun Clawer terhitung masi sangat tinggi. Dari 427 orang jumlah penduduk, yang pernah SD berjumlah 193 orang, SLTP dan SLTA =141 orang dan yang sedang dan sudah kuliah hanya 7(tujuh) orang, artinya bahwa ada 86 orang penduduk Clawer yang buta huruf total atau tidak pernah sekolah ( sensus penduduk dan monografi dukuh Clawer 2010) yang berhasil didata oleh mahasiswa KKN UST 2010 di Clawer.
Hal yang paling menarik dari dukuh ini adalah niat dan semangat masyarakat setempat untuk memberantas buta aksara secara total, yang kemudian terwadahi dalam SLB Lansia di mana murid-muridnya adalah para opa dan oma yang rata-rata berusia 40 tahun ke atas bahkan beberapa di antaranya sudah berusia 70-an tahun, dan tentu pula adalah model pengajaran yang diterapkannya menggunakan sistem among seperti yang diwariskan oleh Ki Hadjar Dewantara meskipun tenaga pendidikya hanya berjumlah dua orang yang bekerja secara ikhlas atau tanpa imbalan apapun, juga usia yang sangat muda dari murid-muridnya. Tingkat usia tidaklah menjadi suatu alasan bagi masyarakat setempat untuk terus belajar, bahkan mereka lebih semangat dibandingkan dengan anak-anak muda sekarang ini. Semangat dan niat para lansia pada SLB lansia yang bertujuan untuk pemberantasan buta aksara ini telah menjadikannya sebagai bentuk pendidikan alternative seperti yang dicanangkan oleh Ki Hadjar Dewantara. Degradasi semangat anak muda juga dikarenakan adanya pemahaman yang berbeda tentang orientasi pendidikan dari fungsi mencerdaskan beralih menjadi syarat formal untuk dapat bekerja di BUMN maupun swasta yang jika dicermati secara kritis semuanya juga adalah titipan kapaitalis asing maupun lokal.
Semangat belajar tanpa mengenal usia dari para lansia dukuh Clawer ini, kiranya menjadi perhatian dan model bagi kita semua khususnya para pemuda yang sudah terdegradasi semangat belajarnya.
Oleh
Walteriano Rahmino Janu Pangul
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H