Sekitar 400.000 tahun yang lalu, ketika Pulau Muria masih terpisah dengan Pulau Jawa, terjadi letusan gunung yang sangat dahsyat. Gunung tersebut adalah Gunung Muria. Pada saat yang sama, seekor gajah jenis Elephas namadicus berjalan di sebuah lereng terbuka di sisi Barat, Gunung Slumprit. Langkah gajah tersebut terhenti untuk selamanya karena letusan Gunung Muria yang sangat kuat. Hujan material vulkanik, tufa, pasir, krikilan yang sangat tebal telah mengubur gajah tersebut.
Ratusan ribu tahun berlalu, pada tahun 2007, ketika tiba para peneliti Balai Arkeologi Yogyakarta menyingkap kembali endapan abu vulkanik yang saat ini demikian mengeras, sedikit demi sedikit menampakkan kembali rangka gajah purba itu. Situasi anatomi tulang belulang mengisyaratkan bahwa rangka gajah ini tidak pernah bergeser. sejak kematiannya , sesaat setelah diterjang badai letusan, Gunung Muria yang dahsyat pada 400.000 tahun silam dan ini merupakan sebuah penemuan yang cukup spektakuler karena sebagian besar tulangnya ditemukan. (Sumber, Widianto, 2011).
Kisah 400.000 tahun silam di atas, saya dapati tertempel di dalam Museum Purbakala Patiayam dan sengaja saya tulis lagi sebagai pengingat, bahwa selain Sangiran dengan empat klasternya dan Trinil di Sragen, Wajak di Tulungangung, juga Mojokerto, ternyata di pesisir Utara Jawa Tengah juga terdapat bentang alam yang luas yang mengubur peradaban purba di masa lalu.Â
Tepatnya di sekitaran Kudus dan Pati, Jawa Tengah. Dikenal sebagai Situs Purba Patiayam. Terletak di Pegunungan Patiayam, Dukuh Kancilan, Desa Terban, Kecamatan Jekulo, Kabupaten Kudus.Â
Perjalanan Ke Kudus
Sekitar Tahun 2013 dan 2014, saya pernah pernah menelusuri jalur pesisir Utara Jawa. Melintas di jalan Pantura. Jalan yang dibuat atas perintah Daendels, yang dikenal sebagai Jalan Raya Pos atau De Groote Postweg. Saat itu, kondisi jalur Pantura demikian menyesakkan. Penuh dengan kendaraan besar dan berat yang melintas dengan asap tebal, hitam pekat memenuhi atmosfer.Â
Ditambah kondisi jalan yang rusak parah di beberapa ruas.Â
Menjadikan perjalanan demikian menjemukan. Kendaraan jadi lambat dan sering macet. Sopir harus ekstra hati-hati dan tahan banting. Lubang-lubang di tengah jalan yang menganga, membuat sopir dan penumpang beberapa kali harus terjungkal-jungkal dan kadang terpingkal-pingkal di dalam kendaraan. Alhasil dari rumah sampai Jakarta, ditempuh selam 23Jam! Itu dulu.....(Baca: Menempuh 900Km, Telusuri De Groote Postweg, demi Kompasianival)
Kali ini, ada undangan pernikahan dari guru perempuan yang mengajar di sekolah saya. Memilih akad nikah dan resepsi pernikahan di Kudus. Karena beliau kelahiran Kudus dan orangtuanya juga tinggal di sana. Jarak dari rumah ke Kudus sekitar 361 km. Ditempuh paling cepat 5 jam 52 menit.Â
Maka, segera saya susun rencana perjalanan, mulai rute sampai destinasi yang akan dikunjungi sebagai efek samping dari acara kondangan ini.Â
Dari tiga rute yang ditawarkan Google Map, jalur Pantura alias De Groote Postweg harus diabaikan. Waktu tempuhnya sangat tidak menjanjikan. Jalur kedua, lewat Tol Trans Java, start dari Surabaya, turun di Semarang. Lanjut ke Demak, Pati dan Kudus.Â
Tapi karena ada kabar jalur utama Semarang - Demak putus akibat luapan air bah, maka pilihan kedua inipun diabaikan. Pilihan terakhir, tetap lewat Tol Trans Java. Dari Surabaya, turun di Gemolong (Sragen). Dilanjutkan melintas jalan raya di tengah pulau Jawa, ke arah Purwodadi menuju Kudus.
Siang itu hujan rintik-rintik. Jalan Raya Gemolong yang dibangun dengan menggunakan beton cor, mulai basah. Saya bersama Pak Yon dan Septian yang pegang kemudi, melintas di jalan yang relatif sepi. Perjalanan dari rumah sudah memakan waktu sekitar 3,5 Jam.Â
Karena perut sudah mulai berbunyi, diam-diam saya mulai mencari tempat yang murah meriah untuk makan siang. Sejak tadi tolah- toleh sepanjang jalan, hanya terlihat Warung Bakso dan Mie Ayam saja.Â
Akhirnya, dengan kata kunci "Rumah Makan di Purwodadi", muncullah beberapa nama rumah makan yang ditawarkan Mbah Google. Setelah agak lama browsing, memilah memilih, melihat menu, kebersihan tempat, ulasan dan harga tentunya, saya putuskan untuk menuju di Rumah Makan Noroyono, Purwodadi.
Narayana (dibaca Noroyono), adalah nama saat remaja dari Kresna. Tokoh wayang yang sangat populer di kalangan anak muda. Bagi penyuka Film India berjudul Mahabharata, pasti sangat ingat dan terpesona dengan tokoh Kresna ini. Wajahnya ganteng, sikapnya bijaksana juga sakti mandraguna. Sepertinya sang pemilik warung (yang saya tahu belakangan bernama Pak Djamin), pasti orang Jawa tulen yang mengidolakan Sri Kresna.
Singkat kata, rumah makan Noroyono ini sangat direkomendasikan. Bolehlah disebut harga kaki lima, dengan rasa bintang lima. Ini bukan endorse atau promosi. Tapi begitulah faktanya. Bagi seorang pengelana, tabu berbohong.... he he he. Ternyata, RM Noroyono ini memang cukup terkenal di kalangan masyarakat Purwodadi, Jawa Tengah. Saya saja yang ketinggalan berita.
Maka, setelah menyelesaikan ishoma di Rumah Makan Noroyono, tanpa membuang waktu, kembali kami menelusuri jalanan Purwodadi yang mulai padat. Maklum, Kota Purwodadi adalah titik pertemuan jalur utama antara Semarang - Bojonegoro dan Gemolong - Kudus.Â
Dimulai dari Museum Purbakala PatiayamÂ
Setelah meninggalkan pusat kota, melintas di sebuah hutan Jati yang diselingi hutan bambu, akhirnya sampai juga di Kota Kudus. Karena acara kondangan masih esok hari, maka segera saya arahkan driver menuju ke Situs Patiayam. Letaknya tak jauh dari pusat kota Kudus. Hanya 21 menit. Dari kota susuri jalur Pantura. Setelah PT Prima Tobbaco, belok kiri masuk Jl. Situs Patiayam.
Tiba di halaman Museum Purbakala Patiayam, kendaraan kami parkir di tempat teduh. Bangunan kembar Museum Purbakala Patiayam nampak berdiri dengan anggun dan gagah. Ada empat pilar bundar dan tinggi di teras masing-masing gedung bercat putih ini.
Setelah mengisi buku tamu, kami bertiga dipersilakan petugas museum menuju ruang tengah. Perlahan saya amati tulisan maupun gambar yang terpajang di dalam museum. Saya foto beberapa informasi dan fosil-fosil purba yang ditemukan di Situs Patiayam. Tepat setelah pintu masuk. terpajang gading gajah purba yang ditemukan di Situs Patiayam. Juga beberapa tulang vertebrata yang oleh masyarakat sekitar disebut Balung Buto. Karena mirip tulang raksasa.
Lokasi Situs Patiayam terletak di kaki Gunung Muria. Dulu, Gunung Muria menjadi satu dengan daratan Pulau Jawa. Tapi pernah terpisah dengan Pulau Jawa., saat suhu bumi menghangat, es di kutub mencair, sehingga cekungan sekitar Patiayam terisi air.
Dalam masa ribuan tahun berikutnya, terjadi air surut dan pendangkalan sehingga kembali Gunung Muria menyatu dengan daratan Pulau Jawa.Â
Temuan-temuan kehidupan purba di Patiayam sangat menarik. Makin menjadi menarik dan bikin penasaran saat petugas museum memberitahukan kalau dua minggu lalu ditemukan lagi fosil gajah di tengah kebun jagung, di Situs Patiayam.
Maka segera saja, jiwa petualang ini meronta-ronta. Saya mencari info bagaimana caranya kesana. Bagi saya, kata temuan sangat menantang untuk dilihat dengan mata kepala sendiri!
Petugas museum memberi tahu, letak Situs Patiayam agak jauh dari museum. Harus menempuh dan melewati jalan desa serta medannya sedikit mendaki ke atas bukit. Tidak kurang sekitar 4-5 kilometer dari museum. Satu-satunya transportasi ke sana adalah menggunakan Jeep Offroad. Tanpa menunda saya segera browsing. Ketemulah Patiayam Adventure. Operator Jeep Offroad di Patiayam, Kudus.
Bersambung:
Serunya Jelajah Situs Patiayam dengan Jeep Offroad.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H