Keraton bergaya Singhasari-Majapahit, telah muncul di Malang. Tepatnya, di sebuah lembah yang diapit dua bukit kecil dekat Candi Jago, Tumpang Malang. Ibarat keraton tiban--keraton yang muncul tiba-tiba--keraton Lembah Tumpang tampil beda, mengusung nuansa zaman klasik, berhasil mencuri perhatian.
Di tangan Yogi Sugito, mantan Rektor Universitas Brawijaya, sebuah lembah sepi yang dibelah sungai kecil disulap jadi destinasi wisata yang apik. Menyuguhkan spot-spot unik dari zaman klasik berupa aneka bentuk arca.
Dilengkapi kolam renang yang airnya mengucur dari jaladwara (pancuran) yang mengingatkan pada sebuah petirtaan (pemandian kuno). Tak ketinggalan, sebuah miniatur candi, seukuran Candi Jago, dibangun di tengah lemba.Â
Semakin meneguhkan bahwa ini adalah destinasi wisata menarik serta unik serta sarat dengan nilai sejarah dan seni.Â
Saking banyaknya arca yang didirikan di tempat ini, banyak yang menyebut Lembah Tumpang adalah Wisata Lembah Seribu Candi. Saya amati, arca-arca ini bukan dibuat dan dipahat dari batu andesit, seperti layknya arca dari zaman klasik (zaman Kerajaan Hindu-Budha).Â
Namun, dibuat menggunakan sistem cetak. Cirinya, hampir semua arca memiliki bentuk wajah, tangan, kaki serta asesoris yang serupa.Â
Walaupun begitu, arca yang didirikan di tempat ini bukan arca yang dibuat dengan rupa dan bentuk sekehendak hati. Kalau saya tidak keliru menilai, konseptor Lembah Tumpang, telah mengadopsi bentuk dan rupa arca peninggalan dari zaman Hindu-Budha yang banyak ditemukan di museum. Baik museum di Jawa Timur maupun koleksi arca di Museum Nasional Jakarta.
Telusuri Lembah Tumpang
Objek wisata Lembah Tumpang gampang dicapai. Hanya perlu waktu 15 menit dari gerbang Tol Pakis, Malang. Persisnya terletak di di Dusun Glanggang, Desa Slamet, Kecamatan Tumpang.Â
Pelancong yang mengagendakan kunjungan ke Candi Jago, Candi Kidal serta Gunung Bromo atau Ranu Pane-Gunung Semeru via Tumpang-Poncokusumo, perlu mampir ke tempat ini.
Saya tiba di Lembah Tumpang sekitar pukul 10 pagi. Setelah membayar tiketnya 60ribu per orang, saya dengan pak Yon melenggang meninggalkan penjaga tiket yang ramah dan bening. Pinjam istilah Pak Sirpa.Â
Nah, setelah itu pengunjung bisa memilih. Parkir kendaraan atau naik kendaraan pribadi untuk berkeliling. Saya memilih mengitari lokasi dengan berkendara.
Mulanya menyusuri jalan masuk yang berkanopi tanaman Pakis yang tumbuh subur, asri dan rimbun. Nampaknya, aneka tanaman hias di tempat ini memang dibiarkan tumbuh subur dan tinggi-tinggi.Â
Setelah berjalan 50 meter, ada dua pilihan. Jika Belok kanan, akan menuju center poin Lembah Tumpang. Di sini ada sebuah candi buatan, yang diberi tetenger (nama) oleh pemiliknya sebagai Candi Kito.Â
Di sekeliling candi, aneka arca dengan bentuk, rupa dan ukuran bertebaran di halaman. Di sisi candi yang lain, tepat berbatasan dengan sebuah kolam buatan yang berair jernih. Seakan-akan, candinya berdiri di atas sebuah kolam raksasa.
Sayang, saya nggak punya drone untuk mengabadikannya. Pasti eksotik sekali pemandangannya! Memanfaatkan sudut Bird Eyes View.
Jika perjalanan dilanjutkan lurus, akan menuju Aula di sebelah kanan dan deretan arca di sisi kiri. Saya memilih melanjutkan dan menyusuri sepanjang jalan hingga sampai dimana ujung objek wisata Lembah Tumpang ini.Â
Akhirnya, saya pun tiba di ujung Lembah Tumpang. Ketemu tiga patung: Arca Raksasa, Banteng Ketaton serta Gajah Perang. Adapula The Hidden Paradise, surga tersembunyi, begitu pemiliknya menyebut lokasi di pojok Lembah Tumpang ini. Wujudnya, berupa kolam renang berair jernih . Dibangun di bawah tebing yang sekelilingnya nampak hijau.
Tak lupa, dua jaladwara (pancuran air), setia memancarkan air jernihnya ke dalam kolam. Karena di ujung, tentu saja sunyi dan sepi. Di dekat kolam renang, ada petak-petak yang disiapkan untuk mendirikan tenda.
Selain bernuansa klasik yang memggambarkan keraton di era kejayaan masa Singhasari-Majapahit, Lembah Tumpang juga dirancang sebagai tempat swafoto yang keren.
Jika telaten memanfaatkan sudut-sudut pengambilan gambar serta menjelajah spot-spot yang tersedia, dijamin pecinta fotografi akan terpuaskan dan pasti akan menghasilkan karya fotografi yang ciamik.
Maka, setelah berkeringat mengitari ujung Lembah Tumpang, saya dengan Pak Yon, balik kanan mencari spot lainnya. Maunya sih agar dapat foto yang ciamik, tapi apa daya! Ya., jeprat jepret seadanya lah.....
Di Lembah Tumpang, pengunjung masih diizinkan untuk membawa bekal makanan dan minuman masuk lokasi. Beda dengan objek wisata di banyak tempat. Jangankan makanan berat, makanan ringan dan air putih saja disita tanpa ampun oleh pemeriksa tiket masuk. Padahal, makan minum di pinggir kolam patirtaan pasti mengasyikkan.
Tapi, kalau nggak mau repot, di Lembah Tumpang tersedia cafe dengan aneka makanan-minuman yang harganya nggak bikin kantong bolong.
Saya amati, Lembah Tumpang sangat memanjakan pengunjung dengan banyak kolam renang. Artinya, sumber air di tempat ini melimpah ruah. Saya hitung ada 3 kolam renang besar serta beberapa kolam renang kecil. Ditambah pula dengan kolam Ikan Koi yang begitu menjernihkan penglihatan. Cocok sekali buat wisata edukasi dan menyenangkan anak-anak yang suka berenang dan masih doyan keceh (bermain air).
Selain menampilkan replika artefak kuno, agar nuansa kerajaan semakin kental, bangunan-bangunan di tempat ini juga didesain berarsitektur klasik. Ada pendopo, homestay, shelter-shelter, rumah tinggal yang desainnya modern tapi dipenuhi ciri-ciri kekunoan. Ditunjang pula dengan menanam vegetasi yang mencirikan unsur zaman klasik seperti Pohon Berenuk (Pohon Buah Maja?, Pakis, Palm serta pohon Kamboja.
Tak berlebihan kiranya, saya sebut Lembah Tumpang ibarat Keraton Tiban bergaya Singhasari-Majapahit yang tiba-tiba muncul sebagai destinasi wisata unggulan di Malang Timur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H