Mohon tunggu...
Teguh Hariawan
Teguh Hariawan Mohon Tunggu... Guru - Traveller, Blusuker, Content Writer

Blusuker dan menulis yang di Blusuki. Content Writer. "Menyurat yang Silam, Menggurat yang Menjelang " : (Nancy K Florida)

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Nasi, Ayam, dan Telur sebagai Tolak Bala dan Makanan Sakral dalam Tradisi Jawa

5 Januari 2021   14:20 Diperbarui: 6 Januari 2021   01:03 8542
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nasi, ayam dan telur sudah tercatat dalam Lubdaka, kitab sastra Jawa Kuno yang disusun abad ke IX. Tertulis pula dalam beberapa prasasti sezaman. Dalam khazanah sastra Jawa Pertengahan, keberadaan ayam dan telur tertulis dalam Serat Centhini. Makanya, nasi, ayam dan telur tidak saja dikonsumsi sebagai menu sehari-hari. Tapi lekat dengan tradisi ritual masyarakat Jawa. Tidak hanya di zaman Jawa kuno, namun ketiga komponen itu selalu mewarnai sajian khas makanan sakral tradisi Jawa sampai di era modern sekarang ini. 

Nasi dalam bahasa Jawa disebut sego atau skul, adalah makanan pokok masyarakat Jawa. Dalam Prasasti Linggasutan (929M) dan Prasasti Paradah (943M) ada guratan yang menyebut nasi sebagai skul dandangan. Maksudnya, nasi yang dimasak menggunakan dandang. Sedangkan Prasasti Panggumulan menyebutnya sebagai skul matiman. Maknanya nasi yang dimasak dengan cara di-tim?

Khusus Nasi Liwet, menurut Titi Surti Nastiti, arkeolog dan epigraf tersohor di tanah air, terdapat dalam beberapa prasasti abad IX. Tertulis pula dalam karya sastra Lubdaka yang juga berasal dari abad IX. Ini menandakan nasi atau skul, sudah dikenal oleh masyarakat sejak zaman kuno. Mengisyaratkan pula, sejak zaman dulu tanah Jawa adalah lahan subur penghasil beras. 

Di zaman kuno cara memasak nasi sangatlah sederhana. Cukup memasukkan beras ke dalam periuk bersama air yang sudah ditakar. Ada periuk kecil yang disebut kendhil. Bisa juga menggunakan periuk besar yang disebut dandang.

Kedua cara menanak nasi yang berbeda itu lantaran berbeda peruntukannya. Memasak memakai kendhil jika menanak nasi dalam jumlah kecil untuk dikonsumsi keluarga. Memasak menggunakan dandang karena akan digunakan untuk keperluan ritual. Misalnya, ruwatan, sesaji, kenduri atau kegiatan lain yang melibatkan banyak orang.

Serat Centhini (langgar.co)
Serat Centhini (langgar.co)

Nasi, Ayam dan Telur dalam Serat Centhini

Serat Centhini, adalah salah satu karya satra Jawa yang terkenal ditulis oleh Sunan Pakubuwana V. Dibantu R. Ng. Ranggsutrasna, R.T Sastranagara, R. Ng. Sastradipura. Termasuk pula dibantu oleh Pangeran Junggut Mandurarejo dan serta Kyai Kasan Besari yang tersohor.

Tak heran, karena penyusunnya adalah orang-orang hebat, maka dalam Serat Centhini, termaktub banyak sekali informasi kehidupan masyarakat Jawa. Terkandung nilai-nilai filosofis, keagamaan, ritual adat istiadat serta kesenian dan kebudayaan

Karena kelengkapan isinya, ada yang menyebut Serat Centhini adalah Ensiklopedia Jawa. Boleh juga disebut sebagai kitab Kuliner Jawa, karena banyak mebahas perihal makanan Jawa. Tak terkecuali tentang nasi, ayam dan telur.

Dalam Serat Centhini tertulis, untuk keperluan ritual, nasi disajikan bersama ayam, telur dan sayuran serta kelengkapan lain dalam bentuk Tumpeng, Golong atau Gurih. Tumpeng, nasinya dibuat seperti kerucut. Ada yang menyebut berbentuk gunung. Bahannya, bisa nasi putih atau nasi kuning (punar).

Golong, dikenal sebagai sego golong, bentuknya berupa nasi putih yang dibentuk seperti bola. Seukuran bola takraw. Sedangkan Gurih, adalah beras yang dicampur sedikit santan lalu ditanak. Sehingga saat matang nasinya terasa gurih. Mirip Nasi Uduk. 

Baik tumpeng maupun golong serta gurih, dalam penyajiannya hampir selalu melibatkan ayam dan telur serta sayuran. Masyarakat Jawa, membuat tumpeng, golong maupun gurih umumnya dikaitkan dengan kegiatan ritual. Diantaranya: Ruwatan Anak, Sesaji Tolak Bala, Sedekah, Ruwatan Biasa, serta Mumule Bumi Langit.

Tumpeng Nasi Kuning (Kompas.com)
Tumpeng Nasi Kuning (Kompas.com)

Sego Golong (wongjowointheblog.blogspot.com)
Sego Golong (wongjowointheblog.blogspot.com)

Ruwatan Anak

Ruwatan berasal dari kata ruwat. Memiliki arti membuang sial atau menghindarkan orang dari gangguan apapun di sekitarnya. Terutama gangguan yang bersifat jahat. Setelah ruwatan, maka diharapkan anak akan terhindar dari bahaya. Anak akan mendapat berkah dan keselamatan. Kedamaian serta kebahagiaan diri dan keluarga besarnya.

Orang Jawa mengenal ruwatan anak ontang anting (anak tunggal), sendang kapit pancuran (tiga anak, diapit dua laki-laki), serta pancuran kapit sendang (tiga anak, laki-laki diapit dua perempuan) dan lainnya. Bahkan, di Dataran Tinggi Dieng, dikenal pula ruwatan untuk Anak Gimbal. Rambut Anak Gimbal tidak dipotong selama belum mencapai umur tertentu. Agar saat pemotongan rambut gimbalnya tidak menimbulkan bencana, maka diperlukan prosesi ruwatan. 

Nah, dalam Serat Centhini, prosesi ruwatan anak ini mensyaratkan untuk nanggap wayang (pertunjukkan wayang oleh dalang ruwat dengan lakon khusus). Disertai dengan sajian 9 jenis nasi tumpeng. 

"Ingkang badhe tumrap aneng kelir, tutuwuhan sajodho kan pepak, gedang, tebu cengkir legen, pari rong gandeng wulu, cikal kalih, iwak ayam kalih, jaler estri cinancang , kiwa tengenipun...."

Artinya:

Yang akan dipakai untuk sesaji kelir (wayang), adalah tumbuh-tumbuhan sepasang yang lengkap, ada pisang, tebu, cengkir (kelapa sangat muda), legen (air nira), padi jenis wulu dua ikat, kelapa yang sudah dikupas dua buah serta ayam jantan betina dua ekor yang diikat kanan dan kiri. 

Sedangkan tumpeng 9 jenis meliputi: Tumpeng Tutul, Tumpeng Lugas, Tumpeng Kendhit, Tumpeng Megana lengkap dengan sayuran, Tumpeng Megana lengkap dengan Ayam, Tumpeng dengan Pucuk Cabe Merah, Tumpeng Rajeg Dom Wojo, Tumpeng yang berpuncak telur serta Tumpeng Sembur. 

Begitulah, nasi, ayam dan telur sangat diyakini oleh masyarakat Jawa sebagai pelengkap utama sesaji untuk ruwatan yang akan menangkal marabahaya serta untuk mendatangkan keberkahan. 

Tumpeng yang penuh makna filosofis (Kompas.com)
Tumpeng yang penuh makna filosofis (Kompas.com)

Bahkan simbol-simbol gunung pada Nasi Tumpeng, menunjukkan bahwa masyarakat Jawa sangat low profile. Sangat paham adanya hubungan vertikal antara makhluk (manusia) dengan penciptanya. Sang Pencipta adalah Yang Maha Tinggi yang ada di puncak.

Sedangkan lauk-pauk, ayam, telur, daging, srundeng, sayuran, yang tersebar di samping gunungan tumpeng, melambangkan hubungan sesama manusia, yang kadang tumpah ruah tak karuan. Jadi masing-masing harus menjaga dirinya baik-baik agar tidak terkontaminasi keburukan dari sekitarnya.

Sedekah Sebelum Perang

Selain untuk keperluan ruwatan, masyarakat Jawa, terutama di kalangan istana juga sangat yakin bahwasanya dengan sesaji yang melibatkan nasi serta ayam akan membawa keberuntungan dalam setiap konflik/ perang yang akan dilakoni. Untuk itu, seperti yang ditulis dalam Serat Centhini, sebelum perang harus disiapkan sesaji nasi dari beras merak dengan lauk ayam berbulu kuning (sega beras abang, iwak pitik wulu kuning).

Ayam Ingkung

Selain tumpeng. masyarakat Jawa juga mengenal Ingkung. Tepatnya ayam ingkung. Yaitu sajian ayam jantan utuh yang dimasak beserta jeroannya. Ayam Ingkung dengan Tumpeng sangat berkaitan erat.

Secara filosofis, ayam yang dimasak utuh ini bermakna mengayomi atau memanjatkan doa. Ini sering dikaitkan dengan posisi Ayam Ingkung saat disajikan dalam prosesi kenduri/ selamatan. Posisinya tidur, menyembah. Mengakui kalau dirinya lemah. Perlu setiap saat memanjatkan doa untuk keberkahan dirinya dan lingkungan sekitarnya. 

Ayam Ingkung, dengan posisi menyembah (Kompas.com)
Ayam Ingkung, dengan posisi menyembah (Kompas.com)

Gastronomi dan Kebutuhan Nutrisi

Begitulah, ayam dan telur telah dikenal masyarakat Jawa sejak zaman kuno. Dengan kearifan lokalnya, melalui tradisi selamatan atau kenduri yang menyajikan nasi, ayam, telur serta sayuran dan ikan laut, merupakan upaya mengenalkan pada seluruh lapisan masyarakat bahwa mengkonsumsi makan-makanan tersebut adalah penting. Secara arif, kalangan yang lebih berpendidikan menjelaskan bahwa perpaduan nutrisi nasi, ayam, telur serta sayuran akan menjadikan masyarakat lebih sehat dan anak-anak akan mengalami pertumbuhan yang normal. 

Bahkan, seperti yang tercatat dalam Serat Centhini, masyarakat Jawa sebenarnya sudah mengenal gastronomi. Bagaimana menyajikan makanan secara indah. Enak dipandang dan nikmat dimakan. Melalui tampilan gunungan tumpeng, olahan lauk serta irisan garnish sederhana yang menyertainya.

Sumber Bacaan

1. Kompas

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun