Dalam Serat Centhini tertulis, untuk keperluan ritual, nasi disajikan bersama ayam, telur dan sayuran serta kelengkapan lain dalam bentuk Tumpeng, Golong atau Gurih. Tumpeng, nasinya dibuat seperti kerucut. Ada yang menyebut berbentuk gunung. Bahannya, bisa nasi putih atau nasi kuning (punar).
Golong, dikenal sebagai sego golong, bentuknya berupa nasi putih yang dibentuk seperti bola. Seukuran bola takraw. Sedangkan Gurih, adalah beras yang dicampur sedikit santan lalu ditanak. Sehingga saat matang nasinya terasa gurih. Mirip Nasi Uduk.Â
Baik tumpeng maupun golong serta gurih, dalam penyajiannya hampir selalu melibatkan ayam dan telur serta sayuran. Masyarakat Jawa, membuat tumpeng, golong maupun gurih umumnya dikaitkan dengan kegiatan ritual. Diantaranya: Ruwatan Anak, Sesaji Tolak Bala, Sedekah, Ruwatan Biasa, serta Mumule Bumi Langit.
Ruwatan Anak
Ruwatan berasal dari kata ruwat. Memiliki arti membuang sial atau menghindarkan orang dari gangguan apapun di sekitarnya. Terutama gangguan yang bersifat jahat. Setelah ruwatan, maka diharapkan anak akan terhindar dari bahaya. Anak akan mendapat berkah dan keselamatan. Kedamaian serta kebahagiaan diri dan keluarga besarnya.
Orang Jawa mengenal ruwatan anak ontang anting (anak tunggal), sendang kapit pancuran (tiga anak, diapit dua laki-laki), serta pancuran kapit sendang (tiga anak, laki-laki diapit dua perempuan) dan lainnya. Bahkan, di Dataran Tinggi Dieng, dikenal pula ruwatan untuk Anak Gimbal. Rambut Anak Gimbal tidak dipotong selama belum mencapai umur tertentu. Agar saat pemotongan rambut gimbalnya tidak menimbulkan bencana, maka diperlukan prosesi ruwatan.Â
Nah, dalam Serat Centhini, prosesi ruwatan anak ini mensyaratkan untuk nanggap wayang (pertunjukkan wayang oleh dalang ruwat dengan lakon khusus). Disertai dengan sajian 9 jenis nasi tumpeng.Â
"Ingkang badhe tumrap aneng kelir, tutuwuhan sajodho kan pepak, gedang, tebu cengkir legen, pari rong gandeng wulu, cikal kalih, iwak ayam kalih, jaler estri cinancang , kiwa tengenipun...."