Mohon tunggu...
Teguh Hariawan
Teguh Hariawan Mohon Tunggu... Guru - Traveller, Blusuker, Content Writer

Blusuker dan menulis yang di Blusuki. Content Writer. "Menyurat yang Silam, Menggurat yang Menjelang " : (Nancy K Florida)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menyingkap Misteri Liyangan Setelah Terkubur 1000 Tahun

24 Oktober 2020   02:58 Diperbarui: 24 Oktober 2020   11:02 3741
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Reruntuhan candi di halaman pertama (terbawah) (dokumentasi pribadi)

Hasil uji radio karbon pada arang sisa pembakaran yang ditemukan di Situs Liyangan menunjukkan kandungan karbonnya berusia lebih dari 1400 tahun. Artinya, arang tersebut dipakai di sekitar abad 6 Masehi. Terkubur di kedalaman antara dari 8-12 meter, bersama sisa peradaban kuno seperti candi pemujaan, pecahan keramik, alat upacara, petirtaan serta bekas-bekas hunian dan lahan pertanian. Menariknya. ditemukan pula sebuah Yoni panjang dengan tiga lubang, sebagai Yoni unik satu-satunya di Nusantara.

Keberadaan Situs Liyangan, nasibnya mirip kota Pompeii. Kota Romawi kuno yang luluh lantak, terbakar, dan terkubur oleh abu vulkanik Gunung Vesuvius di tahun 79 M. 

Jika kota Romawi kuno ini terlacak jejaknya di tahun 1700an dan mulai diekskavasi di tahun 1800-an, maka bayang-bayang jejak peradaban pemukiman kuno Liyangan baru terendus di tahun 2008. Sejak saat itulah, Situs Liyangan mulai banyak diperbincangkan dan menarik perhatian arkeolog juga geolog untuk menelitinya.

Perlahan tapi pasti, setelah diekskavasi secara bertahap, situs di Dusun Liyangan, Desa Purbosari (dan Desa Tegalrejo), Kecamatan Ngadirojo, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah ini, satu demi-satu mulai menampakkan jejak-jejak paradaban dari zaman Mataram Kuno yang cukup penting.

Situs Liyangan saat awal Diekskavasi (kemendikbud.go.id)
Situs Liyangan saat awal Diekskavasi (kemendikbud.go.id)

Menempuh 350 Km

Sabtu, selepas Ashar rombongan kecil kami tiba di Rest Area Km 575, Paron, Ngawi. Tak terasa, saya sudah menempuh perjalanan lebih dari 3 jam, sejak masuk gerbang Tol Pandaan.

Melaju di bawah terik matahari selepas dzuhur di Tol Trans Jawa yang siang itu lumayan lengang. Kendaraan saya pacu dengan kecepatan standar. Khawatir ada pengaruh terhadap roda dari jalan tol berbahan beton cor yang panas akibat sengatan sinar matahari. 

Sebenarnya, rute akan lebih pendek jika potong kompas. Dari Pandaan langsung ke Mojosari dan masuk gerbang Tol Mojokerto. Tapi saya memilih untuk memutar lewat Sidoarjo. Keluar di exit Tol Waru. Lalu masuk ke Tol Warugunung dan melanjutkan ke jalur Tol Trans Jawa arah Mojokerto - Solo - Semarang.

Saya pernah melaju dengan kecepatan antara 120- 130 km/ jam di tol ini. Menempuh Solo-Surabaya hanya dalam 2 jam saja. Hanya untuk uji coba dan nggak pernah ada niatan mengulangi!

Hampir sejam kami di Rest Area Ngawi. Sambil nge-teh, saya buka GPS. Saya arahkan map ke tujuan utama yakni Situs Liyangan. Ada beberapa alternatif untuk menuju ke sana. Lewat Solo - Boyolali - Mungkid - Secang -Temanggung, seperti rute yang pernah saya lalui saat ke Dieng di Tahun 2013 lalu.

Alternatif lain, turun di exit Tol Salatiga menuju Getasan - Kopeng - Grabag - Temanggung. Pilihan terakhir, keluar di exit Tol Bawen menuju Ambarawa - Temanggung.

Baca Juga : Menganyam Kenangan di Negeri Kahyangan Dataran Tinggi Dieng

Kali ini saya memilih turun di exit Tol Salatiga. Rencana bermalam di Kopeng. Sebuah dataran tinggi yang tentunya berhawa sejuk seperti di rumah. Cari hotel online yang murah. Lewat aplikasi disuguhi hotel merah yang dulunya bernama Hotel Jakarta-Jakarta.

Karena tidak pernah jelajah wilayah Salatiga, maka navigator utama saya serahkan pada GPS, sehingga sempat muter-muter karena ada perbaikan jalan di dalam kota. Menjelang gelap, akhirnya kami dipandu untuk melalui jalan yang mulai mendaki. Menuju Kopeng tentunya.

Selepas maghrib kami tiba di hotel. Total lebih dari 350 km sudah ditempuh sepanjang siang sampai petang. Keluar kendaraan kami membawa barang seperlunya. Selesai reservasi kami segera berbagi kamar. Bergegas mandi air hangat. Menghilangkan kepenatan selama perjalanan. Pemanas air saya nyalakan. Setelahnya, segera cari makan malam via online.

Tidak mudah cari ojek online di sekitar hotel. Adanya di pinggiran kota Salatiga. Ya, karena tak ada pilihan, order tetap dilakukan. Risikonya, ongkirnya lumayan mahal. Daripada kelaparan di tengah malam. Lumayan, pengganjal perut agar bisa istirahat dengan lelap. 

O..iya, jangan kaget, karena Kopeng ini dataran tinggi yang dimanfaatkan sebagai lahan pertanian, dinikmati saja kalau sewaktu-waktu muncul aroma "sedap" dari pupuk kandang yang baru ditebarkan di lahan pertanian di bawah hotel.

tangkapan layar peta/ dokumentasi pribadi
tangkapan layar peta/ dokumentasi pribadi
Menuju Liyangan

Pagi selepas subuh, setelah memasak air dan membuat teh memakai heater kami berkemas. Udara masih dingin. Embun juga baru turun. Kami segera turun dari puncak Kopeng menuju Grabag. 

Satu jam kemudian sudah masuk kota Temanggung. Dekat alun-alun membeli 2 plastik kecil kue goreng khas Temanggung. Pengganjal perut sebelum lambungnya berontak.

Di Parakan mampir sejenak di warteg untuk sarapan pagi. Setelahnya, GPS mengarahkan menuju Jl Jumprit - Jl Ngadirejo. Memori saya mengingatkan, kalau ini rute kala ke Dieng di tahun 2013. 

Ini adalah jalan pintas menuju Dieng. Lewat perkebunan Teh Tambi tanpa masuk kota Wonosobo. Jalannya agak sempit tapi penuh suguhan pemandangan menawan. Tentunya juga lebih cepat karena memotong jarak. 

dokumentasi pribadi
dokumentasi pribadi
dokumentasi pribadi
dokumentasi pribadi
Akhirnya, tiba juga di area parkir Situs Liyangan. Terletak di ujung atas Dusun Liyangan. Tak terasa sudah menempuh jarak lebih dari 400 km dari rumah. Di sini tak ada tiket. Cukup bayar parkir saja. Namun, untuk ke lokasi utama situs, masih harus berjalan sekitar 500 meter.

Kami berempat berjalan santai lewat disamping kebun tembakau yang siap panen. Begitu sampai di halaman situs, tiba-tiba datang 2 mobil beriringan. Wajah-wajah bermata sipit, berkulit kuning dengan lincahnya keluar dari mobil ditemani seorang bertopi yang mungkin guide atau tour leader-nya. 

Kami berempat hanya saling pandang dan hanya bisa tersenyum. Ternyata, kalau wajah-wajah blusuker macam saya harus parkir di bawah. Sedangkan jika ada guide yang "membawa" rombongan, kendaraan bisa naik sampai pelataran utama. Ya, itung-itung olahraga, kata saya menghibur diri. Ya, ini mungkin kemauan anak-anak muda yang jaga parkir di sana. 

Dari pelataran terbawah ini, pandangan ke segala penjuru terkesan gersang. Di depan saya terhampar area luas bekas tanah bekas galian. Di sebelah kiri ada kegiatan beberapa orang yang merontokkan tebing untuk menjatuhkan pasirnya.

Tepat di tengah-tengah pelataran ada nameboard bertuliskan "SITUS LIYANGAN". Nun jauh di selatan sana, nampak Gunung Sindoro berdiri gagah dengan puncaknya berselimut awan.

Temuan Arkeologis di Situs Liyangan

Segera saya berempat mulai berkeliling mengikuti naluri. Mulai berpencar dan memotret sana-sini. Di halaman/ teras pertama ini, tepatnya di belakang nameboard ada sebuah reruntuhan candi. Berbentuk segi empat yang atapnya sudah runtuh. Belum nampak sentuhan dari para peneliti untuk merekonstruksi reruntuhan ini. 

Lalu, saya melangkah menaiki tangga batu yang sudah direkonstruksi menuju teras yang lebih tinggi. Sebenarnya ada dua tangga. Di sisi timur dan barat. Saya menaiki anak tangga yang sisi barat. Anak tangganya masih didominsi batu-batu asli. Tapi tembok pembatasnya sudah dirapikan dengan sulaman batu-batu baru.

Reruntuhan candi di halaman pertama (terbawah) (dokumentasi pribadi)
Reruntuhan candi di halaman pertama (terbawah) (dokumentasi pribadi)

Tangga sisi Barat dengan anak tangga masih asli (dokumentasi pribadi)
Tangga sisi Barat dengan anak tangga masih asli (dokumentasi pribadi)

Batur sisa bangunan di teras kedua (dokumentasi pribadi)
Batur sisa bangunan di teras kedua (dokumentasi pribadi)

Pagar Batu memanjang dari Selatan ke Utaradi sisi Timur area temuan bangunan (dokumentasi pribadi)
Pagar Batu memanjang dari Selatan ke Utaradi sisi Timur area temuan bangunan (dokumentasi pribadi)

Candi Pemujaan setelah direkonstruksi (dokumentasi pribadi)
Candi Pemujaan setelah direkonstruksi (dokumentasi pribadi)

Di halaman/teras kedua saya jumpai bekas bangunan berbahan batu andesit yang entah bagaimana bentuk aslinya. Tersisa hanya dua bangunan berteras pendek. Di sisi timur sisa bangunan ini terdapat pagar batu yang memanjang dari selatan ke utara. Pagar batu ini juga dijumpai di teras ketiga yang lebih atas.

Berbeda dengan teras sebelumnya, temuan Situs Liyangan di teras ketiga lebih kompleks. Ada sebuah reruntuhan candi yang posisinya berjajar dengan dua buah batur di sebelah Selatannya. Agaknya, di atas batur itu dulunya dibangun semacam pendopo untuk tempat tinggal sementara. 

Uniknya, di atas candi terdapat sebuah Yoni panjang. Lebih istimewa lagi, Yoni ini ternyata memiliki tiga lubang, yang tak pernah dijumpai di candi-candi manapun di tanah air. Yoni adalah simbol kesuburan (wanita). Tempat mengalirkan air suci saat proses ritual keagamaan.

Yoni berlubang tiga di puncak candi pemujaan (dokumentasi pribadi)
Yoni berlubang tiga di puncak candi pemujaan (dokumentasi pribadi)

Yoni berlubang tiga (dokumentasi pribadi)
Yoni berlubang tiga (dokumentasi pribadi)

Lebih dari dua jam saya berkeliling kompleks Situs Liyangan yang lumayan luas. Berteman sinar mentari yang mulai tinggi. Kontur tanahnya yang berundak-undak menunjukkan bahwa Situs Liyangan ini didesain sebagai lokasi yang memadukan budaya agraris dengan kepercayaan pada kekuatan alam di luar diri manusia. Dan berorientasi ke Gunung Sindoro di sebelah selatan.

Menyingkap Misteri Situs Liyangan 

Saya merapat ke sebuah bangunan rumah kecil menyerupai tempat informasi di pojok bBarat teras ketiga. Saya sempatkan ngobrol dengan petugas yang saat itu sedang duduk di balai-balai teras rumah. Saya mendapat informasi yang sangat aktual dan menarik. Baik dari obrolan maupun foto-foto dan papan data.

"Ini situs pemukiman, situs pemujaan dan sekaligus situs pertanian. Ini sangat berbeda dengan situs kuno lainnya yang pernah ditemukan," jelas petugas yang saya sudah lupa namanya. Informasi ini tentu sangat menarik, karena jarang sekali ditemukan situs yang kompleks seperti ini. Umumnya, situs yang banyak ditemukan hanya berhubungan dengan ritus-ritus kepercayaan kuno saja. Baik animisme maupun yang berciri agama Hindu-Budha. 

Dari penuturan beliau, selain ditemukan sisa-sisa bangunan, di lokasi yang luasnya sekitar 4 hektar ini, juga banyak ditemukan alat-alat upacara, alat pertanian, tembikar kuno, pecahan guci, arca, serta arang sisa pembakaran kayu dan bambu. Bahkan ada juga arang sisa pembakaran bulir-bulir padi.

Dari temuan artefaktual inilah para peneliti mulai menyimpulkan bahwa kompleks Liyangan merupakan situs luas yang pernah dihuni manusia, termasuk beraktivitas sebagai masyarakat agraris dan melakukan ritual pemujaan di tempat itu juga. 

Informasi menarik lainnya, ternyata situs ini bukanlah situs permukaan. Tidak ditemukan sudah berdiri di atas tanah sejak lama. Tapi muncul ke permukaan setelah menggali tanah di kedalaman tertentu, bersamaan dengan pengambilan pasir dan batu oleh Buldoser para penambang

"Hampir semua temuan di Liyangan ini awalnya terkubur lebih dari 8-10 meter," ujar petugas. "Ditemukan Tahun 2008 secara tidak sengaja oleh para penggali batu dan pasir. Dari pengupasan tanah, batu dan pasir itulah mulai muncul temuan-temuan," terang beliau.

Saya melihat ke arah selatan. Ada gunung Sindoro di sana. Sepertinya ledakan besar Gunung Sindoro dengan luncuran material piroklastik (awan panas, abu vulkanik juga lava) yang telah meluluhlantakkan peradaban kuno di Liyangan ini. Seperti halnya Pompeii, kota Romawi kuno di Italia. 

"Hasil uji Lab arang, diperoleh umur kandungan radiokarbon arang tertua berasal dari abad ke-6. Termuda dari abad ke-10," lanjut petugas. Artinya, Situs Liyangan sudah terpendam di dalam tanah lebih dari 1000 tahun!

Dokumen Balai Arkeologi Yogyakarta
Dokumen Balai Arkeologi Yogyakarta

Dokumen Balai Arkeologi Yogyakarta
Dokumen Balai Arkeologi Yogyakarta

Dokumen Balai Arkeologi Yogyakarta
Dokumen Balai Arkeologi Yogyakarta

Setelah berbincang gayeng, saya mohon pamit sekaligus melanjutkan memutari situs sisi timur. Menurut petugas, di balik pagar batu teras ketiga itu ada temuan menarik berupa talud yang tersusun dari batu-batu persegi. Antara talud dan pagar batu terdapat semacam jalan makadam (jalan tanah yang dilapisi susunan batu) yang lebarnya bisa dilalui mobil. 

Temuan ini menarik karena jarang dijumpai di situs-situs lainnya. Di Situs Trowulan, Mojokerto, juga dijumpai susunan batu seperti ini. Tapi dengan ukuran batu yang lebih kecil dan tidak memanjang karena itu merupakan bentuk lantai atau pengerasan di teras rumah hunian masa Majapahit.

Agaknya, waktu dua jam tidaklah cukup untuk mengeksplorasi temuan-temuan di Situs Liyangan secara keseluruhan. Namun saya bersyukur, karena pagi itu sudah berkesempatan mengunjungi salah satu situs peradaban Mataram kuno yang pernah hilang dan sekarang sudah muncul lagi ke permukaan.

Perlahan tapi pasti, Liyangan akan bercerita banyak tentang peradaban kuno yang pernah dibangun di kaki Gunung Sindoro ini. Para peneliti sedang berupaya keras menyusun puzzle-puzzle yang masih terserak untuk menjadi sebuah cerita sejarah utuh kejayaan Mataram kuno di masa lalu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun