Setelah berjalan berkeliling, akhirnya saya sampai di sudut yang teduh.  Teman-teman lain, masih asyik menjelajah  dari satu lapak ke lapak lainnya. Saya duduk di sebuah Ancak (kursi Bambu panjang) dan memesan jajanan Lupis. Kudapan berbahan ketan, yang ditaburi parutan Kelapa dan Gula Jawa ini nampaknya sangat diminati. Buktinya, saya adalah pembeli terakhir di lapak itu. "Sampun telas sedaya. Tinggal satu,"  kata ibu penjual. (Habis semua. Tinggal satu. Bahkan, Jongkong-nya -kudapan dari  tepung beras berwarna hitam- juga tinggal seiris juga).  Saya nikmati potongan-demi potongan Lupis pagi itu diiringi suara samar-samar dari angklung Banyuwangi.Â
Saya melihat, masyarakat juga sangat antusias dengan Pasar Wit-Wit an ini. Selain menghidupkan dan memunculkan kembali aneka makanan dan kudapan tradisional, aktifitas pemuda Alas Malang ini patut diacungi jempol karena mampu menciptakan dan menumbuhkan kegiatan kreatif berbasis ekonomi rakyat. Konsep seperti ini juga pernah saya temui di Malang dan Pare, Â Kediri. Bahkan, mungkin juga sudah muncul di tempat-tempat lain. Â
Memang, Bumi Blambangan alias Banyuwangi ini termasuk kabupaten yang paling kreatif dalam membangun pariwisata dan menumbuhkan ekonomi rakyatnya. Â Tak heran, jika kota berjuluk Sunrise of Java ini semakin moncer dengan segala denyut aktifitas pariwisata dan ekonomi di hampir seluruh sudut-sudut desanya. Semoga yang lain terinspirasi olehnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H