Kesan pertama masuk lokasi Pasar Wit Witan Alas Malang, akan disuguhi nuansa tradisional yang begitu kental. Mulai dari tempatnya yang berkanopi pepohonan. Tak ada  atap asbes gelombang atau genteng. Kios jualan, dibangun dari kerangka bambu beratap daun nipah. Bahkan beberapa kios/ lapak dibuat tanpa atap. Dagangan hanya digelar di atas lincak (meja) bambu.  Lantai juga asli tanah, dengan daun kering berceceran berserakan menutupinya. Tanpa ada sentuhan adukan semen. Alih-alih keramik modern. Â
Nuansa jadul makin lekat, saat mendekat ke lapak-lapak kuliner. Semua kuliner yang tersaji di Pasar Wit-Witan Alas Malang, Singojuruh Banyuwangi, ini khusus kuliner tradisional. Tak ada sajian kuliner modern sama sekali. Termasuk  cara penyajian makanan dan dresscode para penjual nampaknya sudah disetting harus menampilkan  nuansa jadul. Maka. seketika akan memantik nostalgia bagi yang kangen kuliner  masa lalu.
Pasar Wit Witan
Mengunjungi Pasar Wit Witan, Alas Malang, sebenarnya bukan tujuan utama perjalanan kami. Saat itu, saya belima dengan P Bambang. Pak Gunarso, Pak Yon baru pulang dari berkunjung ke rumah P. Budi, di Desa Jambewangi, Genteng Banyuwangi. Setelah bermalam, pagi ini rencananya akan melanjutkan perjalanan ke Bali.Â
Pukul 08.00, kami turun dari Desa Jambewangi, desa terakhir sebelum masuk hutan di kaki Gunung Raung.  Desa ini dikenal sebagai desa berlahan subur yang  cocok untuk budidaya berbagai macam tanaman. Terutama sayur dan buah. Tapi saat ini, saat ini saya lihat banyak warga desa  menanam buah Naga di pekarangan rumah. Nampak juga beberapa petak sawah berubah jadi kebun buah Naga.
Kami melewati desa-desa pinggiran Utara  Blambangan, nama lama Banyuwangi. Ada Desa Sempu, Gendoh dan Songgon. Nah, nama terakhir ini seketika mengingatkan saya pada sosok Wong Agung Wilis. Sosok yang sangat dihormati rakyat Blambangan karena ketokohan dan keberaniannya bersama Pangeran Jagapati, memimpin rakyat Blambangan menentang pendudukan VOC di ujung Timur Jawa tahun 1700-an.Â
Tapi ingatan akan sepak terjang Wong Agung Wilis  itu tak berlangsung lama saat perjalanan pagi itu tiba di sebuah keramaian. Ya, karena penasaran, akhirnya kami berlima pun turun dari kendaraan dan larut di dalamnya. Menjelajah dari sudut ke sudut di Pasar Wit Witan Alas Malang.   Â
Bagi saya, dari beberapa sajian menu yang ditawarkan, Jenang Selo yang bikin penasaran. Saat saya tanyakan, ternyata stok nya habis. "Sampun telas, pak!" kata ibu penjual yang berkebaya serta berjarit batik  berwarna coklat. Jadi sampai hari ini nggak pernah tahu Jenang Selo itu kayak apa.
Di lokasi ini, yang membedakan pengunjung dengan pengelola/ pedagang adalah kostumnya. Karena mengusung tema jadul, maka perempuan memakai atasan kebaya dan bawahan memakai Jarit atau Sewek. Mayoritas berrwarna alami. Cenderung hitam dan coklat. Para prianya ada yang memakai baju Lurik. Ada pula yang berpakaian hitam-hitam mirip Beskap (pakaian khas Jawa). Ditambah dengan penutup kepala berupa Udeng (kain batik yang diikatkan melilit di kepala). Makin lengkaplah nuansa tradisionalnya.