Daun Jelatang yang sudah digosok di punggung Banteng mulai bereaksi. Banteng mendengus dan kakinya mengais-ngais. Matanya melotot. Meloncat kanan kiri. Berusaha mencari jalan keluar dari dalam kandang lantaran kulitnya terasa tersengat dan terbakar. Banteng sangat marah. Begitu pintu kandang dibuka, segera hewan ini melompat keluar. Mulai mencari sasaran dengan menyeruduk kesana kemari. Mengamuk sambil menahan rasa sakit.
Tapi, di tengah alun-alun luas yang berpagar ribuan manusia bertombak panjang, Banteng tidak sendirian. Pada saat hampir bersamaan, pintu kandang Harimau juga sudah dibuka. Biasanya, Harimau tidak keluar, tapi malah mundur maka harus dilempar api di belakangnya. Segera, setelah di luar kandang, Harimau dan Banteng berhadapan. Satu lawan satu.Â
Harimau meloncat berusaha menerkam leher Banteng. Tapi Banteng yang fisiknya lebih besar, telah siap menyambut dengan tenaga yang besar dan tanduknya yang tajam. Jika Banteng berhasil menangkap dan melemparkannya ke udara, maka akan membuat Harimau ciut nyalinya untuk melanjutkan pertempuran. Tapi sebaliknya, jika terkaman Harimau berhasil, maka sang Banteng akan jadi korban siang itu di tengah alun-alun.Â
Tubuhnya dicabik, dirobek kulit dan  dagingnya.  Disaksikan Raja dan pejabat Kompeni, serta ribuan penduduk dan prajurit yang membuat pagar betis, menyemut di Alun-alun Keraton.  Itulah gambaran pertarungan hewan buas yang disukai Raja Jawa tempo dulu,  yang dicatat oleh John Joseph Stockdale dalam bukunya The Island of Java, yang terbit pertama kali tahun 1811, di Inggris.Â
Agar pertarungan antara Harimau dan Banteng itu  terpusat di tengah arena, maka  kandang Harimau dan Banteng diletakkan di tengah Alun-alun, dan di sekeliling alun-alun  segera dibuat pagar betis manusia, terdepan adalah barisan prajurit Jawa. Empat lapis tebalnya, dengan memegang tombak yang diarahkan mendatar ke depan.Â
Mencegah agar binatang yang sedang bertarung di tengah arena tidak menerobos atau melarikan diri. Jika ada yang mencoba menerobos, akan dimangsa ujung tombak dari besi runcing yang dipegang prajurit Jawa. Â Tapi, hewan buas inipun tak akan menyerah begitu saja. Akibatnya, banyak prajurit malang yang akan jadi sasaran terkaman Harimau atau cakarnya sehingga terluka parah.Â
Lebih tragis lagi nasib si Harimau. Walaupun sudah menang pertempuran dengan Banteng, ternyata tontonan yang disukai oleh para raja tempo dulu ini (termasuk rakyatnya), tidak berhenti disitu. Atas perintah pimpinan, beberapa prajurit Jawa segera masuk arena membawa tombaknya yang panjang. Mengepung Harimau yang sudah kelelahan. Agar Harimau marah , maka diletupkan senapan atau bunyi-bunyian semacam Gong.Â
Terkadang menggunakan sulutan api untuk membuat Harimau lebih beringas. Namun, setelahnya tombak-tombak tajam akan menghujam ke tubuh sang raja hutan itu. Inilah yang disebut Rampogan (Rampokan) Macan. Membunuh Harimau dengan tombak beramai-ramai. Seperti yang tercatat dalam The History of Java karya Raflles yang terbit Tahun 1817. Enam tahun setelah bukunya John Joseph Stockdale terbit.Â
Lebih jauh Raffles menguraikan, Rampog Macan tidak harus diawali dengan adu Harimau dengan Banteng. (Raflles menyebutnya Kerbau, bukan Banteng). Mungkin saja yang disaksikan oleh Raflles adalah memang seekor Kerbau Jantan Liar yang sedang bertarung). Rampog Macan bisa terjadi langsung antara prajurit bertombak dengan Macan yang sudah disiapkan di arena. Tidak perlu diadu dengan Banteng lebih dulu.Â
Biasanya  sudah ada 4 sampai 5 Macan yang sudah disiapkan di tengah alun-alun. Macan yang dimaksud, tidak hanya satu jenis Harimau Jawa (Panthera Tigris Sondaica). Tapi bisa juga Macan Tutul (Panthera Pardus Melas) dan Macan Kumbang (Macan Tutul yang berkulit hitam). Hasil akhir bisa diterka, semua macan akan tewas tertembus ujung tombak para prajurit. Maka tentunya saat itu, para tamu raja pun bersorak mendapatkan hiburan live berdarah-darah di tengah arena.  Seperti menonton para Gladiator Romawi bertarung melawan Singa gurun.
J.J Stockdale , menerbitkan    The Island of Java tahun 1811. Lebih tua dari buku The Conquest of Java (1815) atau buku babon The History of Java, karya Raflles yang terbit tahun 1817. Stockdale keliling Jawa  dan merangkum serta menuliskan pengalamannya di lapangan yang sudah dilakukan sejak tahun 1760-an sampai 1800 an. Boleh dikata, karya Stockdale ini termasuk salah satu manuskrip tua yang banyak menyumbangkan informasi tentang kondisi masyarakat dan kebudayaan Jawa di masa lalu. Termasuk salah satunya kisah tragis pertarungan Harimau melawan Banteng di Alun-Alun kotaraja.Â
Karena saat itu ada 4 kerajaan besar di tanah Jawa, yakni  Kerajaan Jayakarta (Jaccatra), Kerajaan Banten, Kerajaan Cirebon ( Cheribon) dan Kerajaan Susuhunan, maka dapat dipastikan peristiwa  pertarungan Harimau dan Banteng terjadi di Alun-Alun Keraton  Kerajaan Jawa (Kerajaan Susuhunan).
Jika Rampogan Macan terjadi sejak tahun 1700-an, maka tontonan ini masih berlangsung hingga akhir tahun 1800 an.  Karena perjanjian Giyanti telah membelah Jawa jadi dua kerajaan Besar Solo (Surakarta) dan Yogyakarta, maka Rampog Macan pun berlanjut  digelar di alun-alun kedua kerajaan Jawa itu pada saat tertentu.  Bahkan dalam kurun waktu berikutnya menyebar ke daerah setingkat Kadipaten (Kabupaten), seperti Kediri- Blitar - Malang dan sekitarnya. Mungkin akibat Rampogan Macan inilah, populasi Harimau Jawa dan Macan Tutul  di Pulau Jawa menyusut tajam. Akibatnya, ada kebijakan dari pemerintah kolonial, sejak tahun 1905, Rampogan Macan mulai dilarang.
Saya penasaran dengan tumbuhan Jelatang. Tumbuhan liar  ini, kata Stockdale telah  membuat Banteng (Kerbau Liar) marah membabi buta karena kesakitan. Stockdale menyebut tanaman ini sebagai Daun Banteng. Dr;. Thunberg, kenalan Stockdale menyebutnya sebagai urtica stimulans. Orang Jawa  menyebutnya Kemado! Nah, kalau efek dari tumbuhan Kemado ini saya jadi ingat masa kecil,  saat blusukan ke hutan menggembala sapi.Â
Daunnya tak jauh beda dengan tumbuhan hutan lainnya. Tapi, jika tersentuh, maka kulit akan tersengat. Â Sejurus kemudian akan terasa makin perih dan panas. Akibat selanjutnya, gatal dan bentol-bentol. Para pendaki gunung pasti juga banyak tahu dengan jenis tumbuhan ini. Maka, kadang tumbuhan ini lebih dikenal sebagai tumbuhan Jancukan.Â
Ya, kata jancuk, adalah semacam kata makian dalam logat Jawa Timuran.  Kata itu meluncur begitu saja dari mulut tatkala seseorang mendapatkan ketidaksenangan atau kesialan. Mungkin munculnya nama Jancukan itu, karena ada pendaki yang sedang melintas rerimbunan dan tanpa sengaja  kakinya tergores Jelatang sehingga memerah, tersengat dan panas. Maka, mulutnya pun mulai misuh-misuh (marah-matah) sembari mengeluarkan makian.... jancuk..jancuk.  Ya, seperti yang sering diumpatkan oleh Sujiwo Tejo lah.....
Sayangnya, di acara Rampogan Macan, sang Banteng (Kerbau) tidak bisa misuh gara-gara punggungnya digosok Kemado alias Jelatang. Â Sungguh perih!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H