Mohon tunggu...
Teguh Hariawan
Teguh Hariawan Mohon Tunggu... Guru - Traveller, Blusuker, Content Writer

Blusuker dan menulis yang di Blusuki. Content Writer. "Menyurat yang Silam, Menggurat yang Menjelang " : (Nancy K Florida)

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Telisik Sisa Keangkeran Alas Donoloyo, Wonogiri

11 April 2020   05:50 Diperbarui: 11 April 2020   13:52 19812
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tanpa rencana, saat kendaraan melaju lambat di jalur Jatisrono, Wonogiri menuju arah Ponorogo, tiba-tiba selepas sebuah SPBU, tanpa sengaja saya menoleh ke kanan melihat sebuah petunjuk arah kecil bertuliskan "Hutan Donoloyo". 

Segera Pak Ali yang pegang kemudi saya minta menepi. Saat lalu lintas sepi, saya arahkan agar putar balik dan memasuki jalan kampung sesuai petunjuk arah. 

Menuju Hutan Donoloyo. Seperti biasa, intuisi saja yang menggerakkan saya untuk mampir ke sebuah tempat yang belum pernah saya kunjungi. Saya cek di map, saat itu saya ada di daerah bernama Slogohimo, Kabupaten Wonogiri.

Ayam Panggang Putra Dami
Ayam Panggang Putra Dami

Ayam Panggang Wonogiri

Ya, siang itu matahari belum terik. Selepas dari Stasiun Solo Balapan, sudah dua kali kami berhenti. Pertama, sarapan pagi di salah satu kuliner andalan Wonogiri. Atas anjuran Google, saya dan pak Ali mampir di Ayam Panggang Putra Dami yang masih sepi.

Lokasinya di kiri jalan jalur Wonogiri-Jatisrono. Porsi 1 ekor untuk 2 orang. Lalapannya segar. Terdiri dari kubis, irisan mentimun dan terong bulat yang mungil. Sambelnya mantab.  

Ada sambel aneh. Warna hitam kelam. Saya tidak berani mencobanya. Makan pagi minim karbo tapi kaya protein yang lezat sekaligus bikin kenyang.Nggak kaya protein gimana, lha wong masing-masing orang dapat bagian 2 potong ayam besar-besar. (Sssst..jangan rame-rame... 1 orang ternyata dapat bagian 3 potong). 

Kenapa kok pilih Ayam Panggang Putra Dami? Ya, karena ini warung Ayam Panggang pertama yang saya temui, di sepanjang jalur Wonogiri - Ponorogo. 

Di jalur ini buaanyak sekali warung beridentitas Ayam Panggang, kata mbah Google. Lalu, selepas puas sarapan, kami lanjutkan menuju Ponorogo. Jalanan tidak terlalu lebar dan masih sepi. Karena masih penasaran dengan ayam panggang, akhirnya mampir lagi di warung Ayam Panggang kedua yang lumayan kondang. Ayam Panggang Mbok Tiyem. Tentu saja dibungkus. Buat makan siang di jalan.  

Tak terasa, kami sudah 3 jam di perjalanan. Sejak dari Solo dan sarapan ayam panggang. Saya sempatkan browsing mencari destinasi wisata Wonogiri. Ada sebuah destinasi menarik di jalur yang saya lalui. 

Namanya Candi Pasiraman. Nama candi ini begitu asing bagi saya. Tak pernah saya jumpai di buku kuno tentang candi di tanah Jawa. Lokasinya di seberang Terminal Bus Jatisrono, Wonogiri. 

Saat saya datang, ada sepasang calon pengantin berbusana Jawa yang sedang foto pre-wedding di tempat ini. Bergantian dengan mereka, saya pun mendokumentasikan candi kecil ini. 

Dilihat dari bahan pembuatan dan ornamennya, sangat kelihatan candi kecil ini bukan dari masa klasik (zaman Hindu Budha abad 13-15M). Ada ibu tua yang sepertinya jadi juru pelihara sekaligus penjaga toilet. 

Sempat berbincang tentang keberadaan candi kecil ini. Ternyata candi ini masih berkaitan erat dengan Keraton Surakarta dan Mangkunegaran. (Kapan-kapan diulas tersendiri ya....)

Candi Pasiraman
Candi Pasiraman

dok. pribadi
dok. pribadi
Alas Donoloyo

Selepas Candi Pasiraman, kendaraan sengaja melaju tidak kencang, agar saya bisa menikmati perjalanan di rute yang tak pernah saya lalui tak sampai 30 menit, akhirnya perjalanan sampai di Slogohimo dan berbelok ke Hutan Donoloyo. Hutan, bahasa Jawa-nya Alas. Maka, Donoloyo pun lebih dikenal sebagai Alas Donoloyo daripada Hutan Donoloyo.   

img-20191201-093309-5e906fd0097f3674da3c39d2.jpg
img-20191201-093309-5e906fd0097f3674da3c39d2.jpg
Kami masuk sebuah kampung dengan rumah berderet rapi di kanan kiri jalan. Tidak mewah, tapi bersih dengan halaman luas dan kebun di kanan kirinya. Nampak lampu penerangan jalan hasil swadaya masyarakat tergantung rapi di tiang besi kecil. 

Di depan masing-masing rumah. Jalan aspalnya mulus dan sepi. Setelah menempuh kurang lebih 3Km, kami sampai di ujung kampung. Jalan makin senyap.  

Tak banyak yang lalu lalang. Ternyata, kami memasuki kawasan hutan. Disambut 2 pohon jati besar di kanan kiri jalan. Mungkin ini batas wilayah antara perkampungan dan wilayah hutan Jati.

img-20191201-093946hnhnhnhnh-5e907100097f363a1f0d9ae2.jpg
img-20191201-093946hnhnhnhnh-5e907100097f363a1f0d9ae2.jpg
Hutan Jati nampak pohonnya jarang-jarang. Di beberapa titik nampak pohon Jati hasil penyulaman. Diameternya tak lebih dari 20cm. Diatur berderet rapi. Berjarak sekitar 2meter an, satu dengan yang lain. 

Mungkin untuk mengganti pohon yang ditebang atau mati. Karena tidak ada petunjuk apapun , kami kebablas tiba di ujung jalan. Keluar hutan. Disambut sebuah gapura merah menyala. Ternyata memasuki kampung yang lain. Akhirnya putar balik kembali ke arah dalam hutan. 

Punden

Di tengah hutan ada jalan lebar ke arah kanan (Timur). Ada papan kecil penunjuk arah yang warnanya lusuh, berbaur dengan semak. Kalau tidak salah terbaca "Punden".  

Segera saja, kendaraan diarahkan ke sana. Sesuai arah panah. Melewati jalan tanah landai berkerikil. Akhirnya tiba di sebuah pelataran luas yang ditumbuhi pohon Jati yang jarang-jarang.  

Ada suasana mistis saat memasuki lokasi punden ini. Walau jarang-jarang, tapi kayunya besar-besar. Beberapa darinya berdiameter lebih dari 1 meter. Mungkin lebih.  

Di sudut selatan ada kayu besar yang tumbang. Kami parkir pelataran dekat sebuah bangunan sederhana berwarna hijau. Mirip pendopo kecil. Karena siang hari, suasana singup-nya (angkernya) tidak begitu terasa.  

Matahari menyinari seantero lokasi punden sehingga padang jingglang (terang benderang). Entahlah kalau sore atau malam hari. Entahlah kalau saat pohon jatinya masih lebat. Pasti lain suasananya. Lain ceritanya. 

Selain ada pendopo kecil bercat hijau, di sebelah selatannya, tepat di posisi tanah yang agak ke bawah ada bangunan lain. Menyerupai Cungkup sebuah makam. Gapura kecilnya bercat kuning. Ada Dwarapala kecil bercat hitam di kanan kiri pintu. Pintu besinya terkunci sehingga saya tidak bisa memasukinya.

Sambil berkeliling, saya nikmati udara segar di kawasan Punden Alas Donoloyo ini. Sungguh suasananya ayem tentrem. Tanpa hiruk pikuk. Hanya terdengar suara burung yang sesekali hinggap di pucuk Pohon Jati. Cocok bagi mereka yang ingin merefresh pikiran. Ada rombongan keluarga kecil yang juga sedang menikmati hari. 

Mereka duduk-duduk di depan cungkup. Saya mendekat ke pedagang Cilok yang sabar menunggu pembeli. Sekedar menyapa dan sedikit bertanya. 

Pendopo Kecil
Pendopo Kecil

Pintu Masuk Punden
Pintu Masuk Punden

Ternyata, ini memang punjer-nya (pusat) Alas Donoloyo. Ini adalah kawasan punden atau petilasan atau tanda bahwa di tempat ini pernah ada orang yang pernah menetap. Ratusan tahun yang lampau. 

Di bawah cungkup itu dimakamkan Ki Ageng Donoloyo. Orang yang dipercaya membuka hutan dan menanam pohon-pohon Jati yang ada di kawasan hutan ini. Demikian kata penjual Cilok singkat.   

img-20191201-095125fghth-5e90719b097f3620cd0e0a72.jpg
img-20191201-095125fghth-5e90719b097f3620cd0e0a72.jpg
Saya penasaran dengan cerita penjual Cilok di Alas Donoloyo. Segera sesampai di rumah, saya browsing dan mencari tahu tentang keberadaan Alas Donoloyo ini. Ternyata, memang Alas Donoloyo ini dulunya begitu luar biasa. 

Sakral dan Mistis. Jika saat ini masih menyisakan beberapa kayu jati berdiameter antara 1-2 meter tentunya sebagian kayu Jati di kawasan hutan ini sudah berusia ratusan tahun. 

Ada yang menghubungkan keberadaan Alas Donoloyo dengan laskar Majapahit terakhir, yang hijrah ke Slogohimo. Ada yang menghubungkan Kayu Jati di Alas Donoloyo ini termasuk yang digunakan sebagai sokoguru (tiang utama) Masjid Demak. 

Ada pula yang menghubungkan Kayu Jati di Alas Donoloyo adalah pamasok utama kayu jati bagi Keraton Surakarta. Berkembang kepercayaan di masayarakat sekitar, kawasan hutan ini dulunya sangat wingit (angker). 

Maka tak sembarang orang berani mengambil Kayu Jati seenak perutnya di kawasan ini, kecuali orang-orang tertentu dan kepentingan tertentu.

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi
Ingatan saya akhirnya sampai ke bangunan keraton Surakarta (Solo). Saya sangat takjub dengan tiang-tiang pendopo berukir yang besar-besar dan lurus. Itu adalah Kayu Jati berkualitas tinggi yang tentunya diambil dari hutan penghasil kayu Jati terbaik yang jumlahnya melimpah dan usianya ratusan tahun. 

Saya yakin dengan cerita penjual Cilok, jika Kayu Jati Alas Donoloyo ini juga pemasok utama untuk sokoguru dan kebutuhan kayu Jati di keraton-keraton Jawa, terutama Keraton Surakarta.

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi
Dok. Pribadi
Dok. Pribadi
Eksotisnya Keraton Solo

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun