Segera saya ambil kamera kecil Mirrorless -hadiah Lomba Blog Kompasiana Pertamina- yang sedari tadi menggelantung di leher. Jepret-jepret... baru dua jepretan......Â
Tiba-tiba ada suara laki-laki muncul di belakang saya. "Mas.......mas, maaf! Dilarang memotret, " serunya. "O..iya Pak," sahut saya sambil tersenyum kecut, sembari berbalik arah dan saya berhadapan dengan seseorang berpakaian security yang tak tahu muncul darimana.Â
"Apa memang tidak boleh memotret? "tanya saya -mencoba sedikit ngeyel. "Boleh, asal izin dulu ke pengelola museum. Serta untuk kepentingan apa," jawab pak Security ramah. "Terima kasih," jawab saya pendek.Â
Mengurus izin tentunya tidak serta merta, mudah dan cepat. Kalau kepentingan sih jelas, jurnalistik dan pendidikan. Kan, reportase-nya untuk di share di Kompasiana.... Salah satu reportasenya ada disini : Mengintip Peninggalan Masterpiece Jawa Timur di Museum Nasional).Â
Juga, saat di sekolah, pasti saya gunakan untuk hal positif dan produktif. Tapi karena peraturannya begitu... ya ikut sajalah.
Saya juga paham, ada beberapa koleksi museum yang tidak boleh dipotret. Tentu banyak hal yang membuatnya begitu.Â
Diantaranya: ada koleksi yang tidak tahan dengan kilatan cahaya blitz. Tapi, arca ini terbuat dari batu, lho! Mungkin ada frekuensi spektrum cahaya tertentu yang bisa membuat koleksi museum terpengaruh.
Alasan lain, mungkin untuk menghindari duplikasi dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Sekarang ini banyak koledol (kolektor yang dodolan/ jualan) barang antik bernilai sejarah. Dengan segala cara mereka berusaha mendapatkan warisan cagar budaya untuk kepentingan pribadi.Â
Sudah kondang, di lantai 4 ini tersimpan koleksi langka dan mahal. Banyak koleksi dari bahan emas! Dan seabreg alasan lain yang intinya melarang pengunjung memotret koleksi museum. Â Â
Akhirnya, siang itu saya hanya bisa berlama-lama memandang karya Silpin (pembuat arca) Jawa Timur yang sudah memahat Arca Pradnya Paramita sedemikian detil, indah dan bercitarasa seni tinggi.Â
Saya makin yakin, kalau Earl Drake, penulis buku "Gayatri Rajapatni, Perempuan Di Balik Kejayaan Majapahit," memang begitu hanyut dan terpesona dengan arca ini. Beliau betah berlama-lama di depan arca ini saat masih di Leiden Belanda, karena seperti ada aura magis yang menghipnotisnya.Â