Saya memasuki jalan tanah berdebu. Di kiri saya berderet linggan (tempat orang membuat bata merah) yang beberapa bagian bangunannya terlihat compang-camping. Maklumlah, kan hanya tempat berteduh sejenak sekaligus tempat pembakaran bata merah.
Seorang warga yang awalnya duduk di pinggir jalan, tiba-tiba berdiri dan meminggirkan kursinya seraya mengarahkan untuk jalan terus lurus. Telunjuknya menunjukkan tempat parkir. Sesuai arahan, kendaraan saya parkir di pinggir tembok makam umum.
Tiba-tiba seorang Mbah Putri (nenek tua) mengejutkan saya karena muncul begitu saja dari dalam area makam. "Purun tumbas pelem tah Nak?" tanya beliau (Mau beli mangga tah Nak?)
Saya tidak menjawab tapi segera ambil uang secukupnya dan saya berikan pada nenek tua. "Pelemnya untuk cucu di rumah saja, Mbah," kata saya. Setelahnya saya bergegas memasuki sebuah linggan kosong, untuk ngiyup (berteduh) sejenak. Berlindung dari sengatan matahari. Sambil berteduh, saya lihat sekeliling. Akhirnya, saya temukan arah ke mana kaki saya harus melangkah.
Maka, jurus GPS lain pun dikeluarkan. Gunakan Penduduk Setempat. Ternyata, lebih simpel dan akurat. Seorang perempuan muda yang rumahnya tepat di pinggir tanah lapang, ramah menjawab pertanyaan saya. Tinggal ikuti petunjuknya, belok kanan sekali dan belok kiri sekali, sampailah di lokasi yang saya inginkan.
Lokasi ini yang dalam beberapa minggu terakhir viral gara-gara ditemukan struktur bangunan bata kuno yang konon peninggalan era Majapahit.
Setelah menyesuaikan dengan atmosfer setempat, saya pun melangkah perlahan keluar Linggan dan mencari jalan turun ke tempat struktur bangunan yang bikin heboh itu. Media cetak, online dan elektronikpun sudah silih berganti datang di lokasi ini untuk meliputnya. Tak mau kalah, para Vlogger juga berlomba menampilkan liputannya agar para netizen bisa menikmatinya. Akhirnya, seperti biasanya, lokasi temuan tumpukan bata merah ini pun jadi objek kunjungan wisata dadakan. Termasuk saya tentunya.....
Saat awal ditemukan, berbagai macam komentar dan opini bermunculan. Ada yang menyebut struktur bata ini bagian dari  tembok bangunan istana Majapahit. Lainnya mengatakan struktur ini bagian dari tembok benteng istana.
Namun, begitu BPCB Trowulan turun tangan dan melakukan ekskavasi, barulah muncul struktur yang sebenarnya. Menurut Pak Wicaksono, arkeolog dari BPCB Trowulan, struktur bata ini adalah sebuah talud.
Dahulu, talud ini dibangun sebagai penahan tanah sekaligus berfungsi sebagai batur dari sebuah pelataran dengan cara menguruk di bagian dalamnya dengan tanah. Lalu dibangunlah disitu (di tengah-tengah talud) entah pendopo, balai-balai atau bangunan lainnya. Biasanya talud ini dibangun berbentuk bujur sangkar dengan tangga masuk di bagian tengahnya. Bagian tepi luar talud diperkeras dengan menggunakan bata merah. Bagian tepi dalam diurug dengan tanah.
Talud Kumitir ini istimewa. Ekskavasi berhasil menyingkap tak kurang dari 100 meter panjang talud. Kemungkinan panjangnya akan bertambah.
Jika suatu ketika diketahui panjang dan bentuk asli dari talud ini (yang saat ini sudah demikian panjang ), maka para arkeolog akan makin penasaran dibuatnya. Bangunan apa yang dulu berdiri megah di atas Talud Kumitir ini? Rasa penasaran untuk sementara disimpan, karena proses penggalian masih berhenti. Belum ada izin dari pemilik lahan untuk melanjutkan penggalian.
Jika dihitung, untuk membuat talud setinggi itu diperlukan kurang lebih 23 buah bata merah yang ditumpuk dan sudah melalui proses penggosokan untuk menempelkan satu dengan lainnya. Kondisinya sangat lekat. Tidak mudah prothol (tercerai berai). karena satu dengan lainnya seakan dilekatkan dengan perekat yang kuat.
Talud ini sudah terkubur di bawah tanah dengan ketebalan antara 1 meter sampai 2 meter. Banyak pendapat diungkapan sebagai hipotesis terpendamnya Talud Kumitir ini. Ada yang mangatakan talud ini tertimbun abu letusan Gunung Kelud yang meletus berulang kali.
Pendapat lain, talud ini tertimbun material kiriman dari Sungai Pikatan yang mengalir didekatnya yang meluap akibat meluncurnya lahar dingin dari Pegunungan Anjasmara di sebelah Selatan.
Jika taludnya kecil, maka bagunan di pelataran talud juga kecil. Namun, jika talud yang bangun panjang dan lebar, tentunya arsitek  pembangunnya juga membangun sesuatu bangunan yang besar dan megah di atasnya. Akhirnya, Pak Wicaksono menunjukkan sebuah catatan di Kakawin Nagara Krtagama. Sebuah naskah kuno yang dikarang oleh Mpu Prapanca saat Raja Hayam Wuruk berkuasa.
Bunyinya:
.. samantara muwah bathara nara singha murtti sira mantuking sura pada, hanar sira dhinarmma de haji ei wengkeruttama siwarcca munggwi kumitir
..... sementara itu Baginda Raja Narasinga Murti pun berpulang ke sorga, tidak lama berselang oleh Baginda Raja diabadikan di Wengker dengan mengutamakan Arca Siwa di Kumitir. Nagara Krtagama Pupuh 41
Maka, tak salah kiranya para arkeolog menghubungkan Talud Kumitir ini sebagai tempat pendarmaan Nara singa, teman dekat, sahabat dan saudara sepupu dari Wisnuwardhana Raja Singhasari yang menurunkan raja terbesar Singhasari, Prabu Kertanegara.
Kemungkinan, di zaman Majapahit, di Kumitir inilah --yang termasuk batas istana Majapahit sebelah timur-- dibangun tempat yang megah sebagai bakti dari para cucu (yakni raja-raja dan keluarga istana Majapahit) pada kakek buyutnya yang dulu berkuasa di Singhasari.
Boleh jadi, ekskavasi Talud Kumitir akan sangat potensial menemukan sesuatu yang spektakuler di masa depan, karena di makam, dekat saya parkir kendaraan, banyak ditemukan bongkahan batu andesit yang biasanya digunakan sebagai bahan penyusun candi. Selain itu, ditemukan juga beberapa umpak yang berfungsi sebagai penyangga tiang. Bangunan apakah itu, kelak akan terjawab....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H