Dua bulan terakhir, Dusun Sumber Beji, Desa Kesamben Kecamatan Ngoro, Jombang jadi sorotan. Pasalnya, di dusun pinggir jalan poros Mojowarno-Ngoro-Pare ini ditemukan bangunan purbakala berupa petirtaan (patirthan) atau pemandian kuno.
Penasaran dengan berita ini, maka siang itu, selepas dhuhur, saya pamit undur pada teman-teman yang masih melanjutkan acara di pusat kota Jombang. untuk kunjungi lokasi ini. Mumpung lagi ada Jombang.Â
Segera, saya bersama Toriza, susuri jalan mengikuti GPS yang sudah disetting menuju Dusun Sumber Beji. GPS mengarahkan kendaraan lewat jalan poros Jombang-Ngoro yang lumayan lebar dan mulus. Lalu lalang kendaraan lumayan padat tapi lancar. Lima belas menit kemudian lewat di kawasan Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang.
Setelahnya, kendaraan terus melaju dan tiba di pertigaan Jalan Blimbing, GPS mengarahkan untuk lurus menuju Mojowarno, lewat Jalan Raya Sidowarek dan Jalan Gajah. Jalan ini sebenarnya tidak asing bagi saya, lantaran kadang saya lewati saat berkunjung ke rumah mertua di Kediri.Â
Lima menit selepas pertigaan, GPS mengarahkan kendaraan agar belok ke kanan. Masuk gang sempit. Sekilas saya baca ada tulisan Desa Gajah.
Lima ratus meter masuk ke dalam kampung tiba di persimpangan. Pelan-pelan saya susuri jalan kampung yang aspalnya mulai terkelupas, Akhirnya berhenti di ujung dan ketemu seorang penduduk. Saya turun dan menanyakan letak temuan purbakala Sumber Beji.
Nanti di tempat yang banyak pohon besarnya, sumber airnya ada di sana), kata penduduk sambil mengarahkan lewat jalan yang membelah kebun yang sepi. Benar, begitu ditelusuri sesuai petunjuk. akhirnya tiba juga di sebuah tempat yang rindang di tengah kebun jagungÂ
Di pelataran ini tampak berdiri banyak pohon besar. Salah satunya Pohon Beringin yang sudah patah bagian pucuknya. Menandakan usianya yang sudah cukup tua. Lokasi seperti ini biasanya dikeramatkan oleh penduduk setempat.
Biasa disebut Punden. Tempat penduduk melaksanakan selamatan desa, ritual dan sejenisnya. Nampak, beberapa warung sederhana berderet di pinggir pelataran. Bergegas saya menuju situs purbakala yang bikin penasaran.
"Dulu ya rimbun semua. Di atas sumber air itu ada pohon besarnya. Di sekeliling pohon dibangun plengsengan untuk menampung air. Mirip pulau kecil" seraya menunjuk ke tengah embung. Saat ini, bagian tengah embung sudah bersih dari kayu. Tersisa plengsengan yang mengitari embung.
Di tengah dasar embung inilah ditemukan struktur berupa petirtaan. Nampak puluhan pekerja yang sedang sibuk melanjutkan ekskavasi.
Tampak mereka sangat bersemangat dengan aktifitas masing-masing. Ada yang mencangkul. Ada yang mengorek-ngorek tanah. Beberapa orang bertugas mengangkut tanah/lumpur keluar dari dasar embung.
Tampak pula, petugas dari BPCB Trowulan sedang menginventarisasi temuan. Ada yang memotret. Ada yang mengukur memakai mistar.Ada pula yang sedang duduk sambil menggambar sesuatu.
Ekskavasi
Saya berkeling di sepanjang tepian embung yang dibatasi pagar bambu sederhana. Kedalaman dasar embung tak kurang dari 3 meter dari permukaan tanah. Tak dinyana, di sebuah shelter ketemu dengan Mas Deni dan Mas Surya Sindu Patih, pegiat Komunitas Cagar Budaya yang cukup kondang di Jawa Timur.Â
Tiba-tiba, seseorang melambaikan tangan dari tengah embung yang sedang diekskavasi. Wow... suprise! akhirnya ketemu penanggung jawab ekskavasi, Pak Wicaksono pegawai BPCB, yang naik dari dasar embung dan nimbrung di shelter. Beliau adalah narasumber utama dari temuan arkeologi di Sumber Beji, Ngoro Jombang ini.
Awalnya, masyarakat gotong royong membersihkan punden ini karena sumber air yang keluar dari dalam tanah mengecil. Begitu dibersihkan, ditemukan saluran air kuno dari tatanan bata merah.
Struktur bangunan saluran air ini nampak masif dan kuat. Menandakan bahwa itu dibangun bukan oleh rakyat biasa. Oleh masyarakat, temuan ini dilaporkan ke BPCB Trowulan.Â
BPCB Trowulan segera terjun ke lokasi dan melihat bahwa struktur kekunoan di Sumber Beji ini sangat potensial. Maka tak perlu waktu lama, rencana ekskavasi pun disusun. Alat berat didatangkan untuk mengupas bagian atas embung yang merupakan sedimentasi berupa pasir dan tanah dari luapan banjir.
Begitu selesai dikupas bagian permukaan menyingkirkan kayu-kayu besar dengan akar-akarnya yang kuat, secara hati-hati, para arkeolog pun mulai menggali.
Akhirnya, banyak temuan-temuan spektakuler bermunculan di lokasi situs Patirtaan Sumber Beji ini. Diantaranya, struktur bangunan berbentuk persegi empat, menyerupai kolam.
Jaladwara ini merupakan tempat keluarnya air dari sumber. Biasanya untuk bersuci, karena masyarakat zaman itu, sesuai kerpecayaan Hindu, mengganggap air yang sudah keluar dari Jaladwara adalah air suci.Â
"Temuan paling spektakuler saat ekskavasi tahap I, bulan September 2019 adalah ditemukannya Arca berupa Burung Garuda yang masih menempel dengan kuat di bagian petirtaan," ungkap pak Wicaksono.
Ini luar biasa dan tentunya bangunan ini dibangun untuk kalangan bukan rakyat jelata. Arca Burung Garuda ini sebenarnya juga Jaladwara (pancuran air) karena ada bagian yang berlubang.
Dari perbincangan siang itu, kesimpulan saya adalah, Sumber Beji adalah sebuah bangunan petirtaan (pemandian kuno) yang dibangun oleh kalangan elit zaman itu.
Menariknya, ditemukannya Arca Burung Garuda menyiratkan sebagai perlambang adanya perjuangan dan pengabdian dalam suatu tahap kehidupan. Sementara ini para arkeolog sepakat bahawa arca di Petirtaan Sumber Beji ini adalah Arca Garudeya.
Biasanya, Garudeya dipahatkan sebagi relief seperti yang dijumpai di Candi Kidal dan Candi Sukuh. Tapi di Sumber Beji, kisah mitos Jawa Kuno ini diwujudkan dalam sebuah patung dan sekaligus Jaladwara.Â
Kedua istri itu bertaruh tentang warna ekor kuda Ucchaihsrawa. Yang salah harus jadi budak diantara keduanya. Jawaban Winata, ekor kuda adalah putih. Jawaban Kadru ekor kuda adalah hitam.
Jawaban Winata benar, namun Kadru meminta pada anak-anak ular agar menyemburkan bisanya sehingga ekor kuda jadi berwarna hitam. Maka episode perbudakan Winata dan Garuda oleh Kadru pun dimulai.Â
Karena kesaktian Garuda, maka para Dewa pun kalah, sehingga Wisnu petinggi para Dewa turun tangan. Garuda pun kalah. Tapi Wisnu akhirnya mau memberikan air Amrta setelah tahu keinginan kuat Garuda untuk membebaskan ibunya. Syaratnya, Garuda mau menjadi tunggangan Dewa Wisnu.
Begitulah setelah bersuci dengan Air Amrta, Winata dan Garuda pun bebas dari perbudakan. Itulah bakti seorang garuda pada Ibunya. Maknanya, bakti rakyatnya pada tanah airnya agar terbebas dari penjajahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H