Saya ikuti saja perintahnya. Karena kuda harus belok ke kanan dan ke kiri. Sesekali tali kekang saya tarik ke arah yang sesuai arah belokan. Â Saya ikuti liukan punggung kuda di atas pelana sembari menikmati pemandangan indah di Ungaran. Bayangan-bayangan buruk pun segera sirna karenaya.
Si Kuda rupanya sangat terlatih melewati jalur ini. Walaupun tanjakan tinggi, berkelok-kelok, dia dapat memilih jalannya sendiri. Jalan yang lebarnya tak sampai dua meter itu memang terbagi dua. Bagian kanan rata dengan permukaan berbatu dan berpaving. Sedangkan sisi kiri selebar setengah meter dibuat bertangga-tangga. Ternyata si Kuda memilih lewat tangga-tangga ini.Â
Yang membuat saya agak iba adalah kondisi sang Tukang Kuda. Untuk mengimbangi teman seperjuangannya menuntaskan tanjakan, nampak nafas pak Tukang Kuda pada ngos-ngos an. Untungnya tak sampai lima belas menit tanjakan dilibas oleh sang Kuda. Setelah melewati hutan Pinus, tibalah dipelataran luas. Saya diturunkan di sini.  "Itu  Candi V ada di puncak bukit," kata pak Misno , yang kudanya saya naiki.  Sebelum menuju lokasi Candi tertinggi di Gedong Songo, saya menuju ibu-ibu penjual minuman di ujung pelataran. Saya  ambil 4 botol. Dua saya berikan Pak Misno dan temannya. Â
Setelahnya, saya pun bergegas menuju puncak bukit. Menuju Candi V dari 9 Candi yang ada di kompleks ini. Untung saya pilih opsi naik kuda, pikir saya. Jika jalan kaki, bisa-bisa acara ke Jakarta makin tertunda. (bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H