Perjalanan ke ibukota, malam itu terhenti di Kota Solo. Tak terasa sudah 6 jam perjalanan dari rumah.  Melewati Mojokerto, Nganjuk,  Caruban, sampai  Ngawi. Segera, googling homestay murah di sekitaran  Masaran (Sragen). Tidak ada yang cocok dengan harapan. Ganti pilih penginapan/ hotel murah di Solo.Â
Telisik sana telisik sini, dapat Hotel Reddorz. Sepertinya ini cocok.  Satu kamar dengan 2  Single Bed, berselempang merah. Di fotonya, nampak kondisi kamar, bed dan kamar mandinya bersih.  Dapat breakfast lagi. Harganya, lumayan murah. Cocok untuk bolanger alias blusuker! Maka, malam itu, saya dan Ali,  terbuai mimpi di Kota Solo.
Pagi, pukul 06.00, nasi Soto dan Teh panas sudah diantar room service ke teras kamar. Â Segera, kami tuntaskan menu sarapan ala Reddorz Solo ini. Setelah mandi, kami bergegas cek out. Melanjutkan perjalanan dinas ke Jakarta yang lumayan masih jauh. Waktu menunjukkan pukul 06.30. Saya pun melaju.
Selepas Solo, masuk Boyolali dan masuk Tol Salatiga. Tol ini berakhir di Semarang. Tapi, pagi itu, ada keinginan kuat untuk ke Ungaran. Di sana ada Candi Gedong Songo yang sudah menunggu. Maka, perjalanan  masuk tol Salatiga, berakhir di Bawen.  Pakai Google Map, akhirnya diarahkan meliuk-liuk di kaki dan lereng  Gunung Ungaran.  Lewat Ambarawa. Menyisir di dekat Telaga Rawa Pening yang eksotis.
Akhirnya tiba di Bandungan. Lha, kok  dekat dengan Monumen Palagan Ambarawa, saksi bisu heroiknya perjuangan yang dipimpin Jenderal Sudirman. Maka, tidak membuang kesempatan, maka mampirlah saya ke sana.Â
Meninggalkan pelataran Monumen Palagan Ambarawa, kendaraan balik kanan. Sampai di sebuah pertigaan, diarahkan belok kiri. Lewat jalan yang sempit. Lalu, tanjakan demi tanjakan terlewati sampai akhirnya tiba ujung sebuah puncak bukit. Itulah pelataran parkir kompleks Candi Gedong Songo. Sesuai namanya, Gedong artinya gedung atau bangunan. Songo artinya sembilan. Konon ada sembilan bangunan (candi) di tempat ini.
Saya kira pemeriksa tiket. Ternyata bukan. Mereka tidak menanyakan tiket malah nawari naik Kuda....Oooo, ternyata mereka penduduk lokal yang berprofesi sebagai tukang jasa penarik Kuda yang ditempat saya disebut Tukang Kuda atau Ejek. Kalau jasa motor namanya Ojek.
Mulanya saya menggeleng tawaran para tukang kuda ini, dan melanjutkan jalan kaki melewati deretan kios-kios dan beberapa warung. Â Namun, dua diantara mereka setia membuntuti. Â Akhirnya, Â setelah saya pikir-pikir, apa salahnya dicoba. Apalagi setelah baca-baca di papan informasi.
Areal Candi Gedong Songo begitu luas. Saya membayangkan kaki akan ngilu berat jika mengunjungi tebaran candinya. Â Akhirnya, deal..... Â acara naik kuda pun dimulai. Biayanya, 100 ribu untuk Pak Ali dan saya 120 ribu. Lantaran saya ada kelebihan berat badan sekitar 10kg..... he he he
Awalnya, rute lewat  jalan datar berpaving. Salah satu tukang kuda membawa sapu kerik (sapu dari ranting kelapa). Mulanya saya nggak tahu untuk apa. Ternyata, untuk menyapu kotoran saat si Kuda buang hajat saat perjalanan. Lalu, tak sampai lima menit berjalan, tiba-tiba jalan menurun tajam, membuat bulu kuduk agak berdiri. Grogi juga!
Tukang kuda memberi instruksi agar badan condong ke belakang. Kaki menekan keras ke sanggurdi. Tali kekang dikencangkan. Saya sih nurut saja..... wong pingin selamat. Apalagi setelah turunan, langsung disambut tanjakan yang meliuk-liuk. Â Kali ini instruksi Tukang Kuda berbeda. "Condongkan badan ke depan, longgarkan tali kekang Om".Â