Ternyata, penyumbang Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT), per Agustus 2017 adalah mereka yang berpendidikan SMK (Sekolah Menengah Kejuruan). Besarnya 11,41% dari total pengangguran terbuka di Indonesia. Angka ini lebih tinggi dibanding dengan Tingkat Pengangguran Terbuka yang berpendidikan SMA (Sekolah Menengah Atas), yang prosentasenya dikisaran 8,29% dari total  7,04 juta orang. Demikian berita resmi statistik yang dirilis BPS (Badan Pusat Statistik)  6 November 2017 lalu.
Menariknya, secara makro, infografis BPS memberi gambaran jelas bahwa tenaga kerja di Indonesia didominasi lulusan SD, SMP lalu SMA. Khusus SMA, prosentasenya mencapai 17,46% dari total tenaga kerja di Indonesia, per Agustus 2017. Â Riilnya sekitar 21,13 juta pekerja adalah lulusan SMA. Sedangkan tenaga kerja berlatar pendidikan SMK malah hanya 10,40%, atau sekitar 12,59 juta orang.
Kedua, secara konsep pula, pendidikan SMA idealnya menyiapkan siswa (peserta didik) untuk melanjutkan kependidikan tinggi.Tetapi faktanya, lulusan SMA malah mendominasi pasar tenaga kerja dibanding lulusan SMK. Artinya, siswa yang nota bene tidak disiapkan secara khusus untuk bekerja ini ternyata lebih diterima oleh pasar. Lulusan SMA lebih fleksibel saat memasuki bursa lapangan kerja. Mereka lebih mudah terserap ke berbagai sektor tenaga kerja. Anak-anak SMA lebih mudah di training untuk menyesuaikan dengan bidang pekerjaan yang tersedia.
Data di lapangan makin menunjang rilis dari BPS ini. Ada sekolah (swasta) yang lebih dari 50% lulusan tidak melanjutkan, karena berbagai macam sebab. Ada yang berebut lowongan kerja di dunia usaha dan industri. Ada yang menikah. Ada yang menganggur. Â Ada pula pula diantara mereka yang berwirausaha secara mandiri.
Melihat tren banyaknya lulusan SMA memasuki dunia kerja, ke depan tren ini  juga patut diwaspadai. Sebenarnya sih bukan tren lagi, karena fakta ini muncul sudah sejak lama. Hanya kadang tersamar dengan jargon : lulusan SMA seyogyanya melanjutkan ke pendidikan tinggi. Padahal faktanya banyak yang belok kanan, yakni memasuki dunia kerja. Jika kondisi ini tidak diantisipasi, bisa jadi suatu ketika, lulusan SMA yang tanpa skills ini akan jadi penyumbang angka penggangguran yang lebih banyak.
Nah, agaknya dalam beberapa tahun terakhir, fakta ini sudah disikapi dengan bijak oleh pengelola pendidikan menengah (SMA Swasta khususnya). Mereka sudah memasukkan materi-materi yang berbasis penguatan skills (ketrampilan), pendidikan karakter dan kewirausahaan di lembaga masing-masing secara mandiri. Tentunya sesuai dengan kondisi masing-masing lembaga dan daya dukung yang ada. Maka tak heran ada sebutan "SMA Life Skills" yang menyediakan aneka ketrampilan bagi peserta didiknya. Mulai dari  Tata Boga, Tata Rias, Tata Busana, Perhotelan, Ketrampilan Pertanian, Perikanan dan sebagainya. Ada pula SMA yang mengembangkan produk-produk  berbasis industri kecil seperti  Pengolahan Hasil Pangan (Ayam Siap Saji, Aneka Kerupuk, Aneka Olahan Buah Kering) dan sebagainya.
Bahkan beberapa lembaga SMA juga mulai memberanikan diri untuk menitipkan siswa-siswinya di instansi pemerintahan, instansi swasta dan dunia usaha dan industri untuk melakukan apa yang disebut Magang (On The Job Training) dengan skala terbatas. Tapi sekali lagi mereka adalah SMA bukan SMK. Maka saya menyebutnya trend ini sebagai "SMA Vokasi".
Double Track
Sungguh sangat menggembirakan jika akhirnya inovasi pendidikan yang sedikit diuraikan di atas mulai diadopsi oleh pengambil kebijakan. Mulai tahun 2018 ini, rencananya Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur meluncurkan program DOUBLE TRACK. Nafas dan semangatnya sama dengan  SMA Vokasi. Memberikan dasar-dasar ketrampilan bagi siswa SMA yang kemungkinan besar tidak melanjutkan ke Perguruan Tinggi.
Tidak hanya di Jawa Timur, Direktorat Pendidikan Menengah Jakarta juga mulai mengembangkan sekolah-sekolah model Kewirausahaan. Desainnya mungkin beda dengan sekolah vokasi, tapi nafas dan semangatnya  sepertinya tidak jauh berbeda. Mungkin sebagai perbandingan, di Australia, program SMA Vokasi ini bisa merujuk pada Margareth River High School, yang sudah sejak lama mengembangkan SMA Vokasi di lembaganya.
Sebagai muara dari kegiatan SMA Vokasi, Double Track, SMA Kewirausahaan atau apapun istilahnya yang paling penting adalah Uji Kompetensi. Tentunya Uji Kompetensi ini akan dilakukan oleh pihak-pihak yang berwenang  semacam Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) atau Uji Kompetensi oleh DUDI. Ini merupakan tantangan bagi pengelola sekolah berbasis vokasi agar kegiatan yang dilakukan di sekolah tidak asal jalan. Tapi benar-benar memiliki arah dan tujuan akhir yang benar.Â
Siswa tidak saja mampu melanjutkan ke pendidikan tinggi, tapi juga memiliki dasar-dasar ketrampilan, etos kerja, serta Sertifikat Profesi. Hal ini tentunya tidak mudah. Tapi tetap bisa diraih dengan daya upaya yang maksimal dan selalu istikomah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H