Digembleng 5 doktor sejarah. Diarahkan Ibu Direktur Sejarah, Direktorat Kebudayaan  Kemendikbud. Disuport seorang Profesor dengan gelar belakang M.Si alias meh sembarang iso (hampir semua bisa) akhirnya, 50 orang positif terjangkit "Virus Menulis". Tak tanggung-tanggung, virus menular tersebut adalah "Virus Menulis Sejarah" yang konon sangat berbahaya, karena ibu Direktur menyatakan, tulisan sejarah yang bagus biasanya tidak lahir dari tangan dan pikiran orang-orang yang berlatar sejarah.Â
Demikian kira-kira kesimpulan saya, setelah mengikuti Bimbingan Teknis Penulisan Sejarah yang dihelat oleh Direktorat Kebudayaan, Kemen dikbud, mulai Senin 19 Peb. S.d Jumat 23 Peb 2018, di Hotel Kartika Graha Malang.
Gejala terjangkitinya virus ini sudah terdeteksi sejak kegiatan pelatihan dimulai. Pertama, antusiasme peserta yang sangat tinggi untuk hadir di acara. Kuota 50 orang terisi, fully booked. Kedua, selama kegiatan pelatihan, dalam setiap kesempatan, peserta sangat responsif terhadap materi narasumber. Termin bertanya tak disia-siakan oleh para peserta untuk memperdalam materi yang telah "dicerna".Â
Ini bisa dipahami, lantaran materi yang diberikan adalah materi dasar jurusan sejarah seperti: Pengantar Ilmu Sejarah, Sejarah Lokal, Penulisan Sejarah, Metode Sejarah termasuk Penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Padahal, pesertanya bukan berlatar sejarah. Ada guru Fisika,guru agama, Â kolumnis, blogger, penggiat seni, dosen, ibu rumah tangga, mahasiswa non sejarah, dan profesi lainnya. Tentunya sesi bertanya jelas untuk mengkonfirmasi dan menggali sisi-sisi tersembuyi ilmu yang baru diajarkan oleh sang mahaguru.
Harapannya sih, para alumni yang sudah terjangkiti virus menulis ini mampu menulis sejarah sesuai kaidah-kaidah menulis sejarah yang benar. Paling tidak, para peserta tidak terjebak pada asumsi-asumsi yang menjurus pada mitos atau legenda pada saat menulis sejarah, demikian ungkap Pak Adrian Perkasa dosen muda energik yang membuat peserta terpesona. Baik karena tampilannya yang gaul, casual dan excited, juga karena materi "kuliah" yang  keren.
Sejarah tentang Manusia
Tak kalah kerennya adalah materi sejarah sajian Dr. Tri Wahyuning, yang mampu membuat peserta terbuka cakrawala berfikirnya akan ranah kajian para sejarawan dan bagaimana menulis proposal sejarah yang baik. Secara pribadi, dari penyajian penulis Disertasi "Dibawah Bayang-Bayang Jakarta, Kota Depok,' ini saya mendapatkan gambaran mana studi arkeologi dan mana studi sejarah. Kalau boleh saya simpulkan, Arkeologi pasti Sejarah. Tapi, Sejarah tidak mesti Arkeologi. Ini karena di ranah sejarah ada bahasan tentang manusia, kejadian, dan kronologi.
Bu Tri juga mengulas dengan runtut teknis menyusun kajian sejarah mulai dari menentukan tema, Â menulis latar belakang yang baik, tujuan penulisan, rumusan masalah, ruang lingkup sampai metode sejarah dan sistematika penulisan.Â
Tak ketinggalan pula bagaimana menentukan judul yang "eye catching". Â Kesalahan pertama para penulis sejarah (lantaran tidak pernah belajar sejarah) adalah membuat judul yang tidak "melibatkan peran manusia" dan tidak mencantumkan kronologi (waktu).Â
Padahal, dua hal tersebut mutlak dalam penulisan sejarah. Sebagai contoh: Napak Tilas Nagara Krtagama di Pasuruan, lebih cenderung ke bahasan arkeologi. Kalau penulisan sejarah judul yang standar misalnya: Peranan Etnis Cina dalam Perkonomian di Pasuruan Tahun 1700 -- 1900.Sama-sama berbau sejarah, tapi saat diincipi rasanya berbeda!