Saat ini, dengan makin mudahnya mengakses internet, makin mudah pula bermedia sosial. Aplikasi bermedia sosial bertebaran. Pertemanan tak dibatasi ruang waktu. Akhirnya, berkumpullah orang-orang dengan interes, hobi, keinginan atau harapan yang sama dalam satu wadah nonformal.
Maka jadilah sebuah komunitas. Di dunia maya, jumlahnya seabreg, dengan jenis atau genre yang bermacam-macam. Salah satunya komunitas pecinta sejarah budaya dan arkeologi. Dengan fasilitas facebook (FB) dan ditunjang whatsapp (WA) komunitas sejarah ini begitu intens berkolaborasi dan berkomunikasi. Kegiatan mereka ternyata luar biasa. Tidak hanya posting, chatting atau menghabiskan waktu dengan say hello di media sosial. Ternyata, komunitas sejarah adalah pejuang sejati tanpa pamrih.
Lebih dari 50 komunitas pegiat sejarah-budaya-arkeologi yang pernah saya tahu. Kebanyakan berkelompok sesuai dengan domisili geografi, setingkat kabupaten/kota. Sebut saja misalnya, Tapak Jejak Kerajaan home base-nya Sidoarjo, PASAK (Kediri), Singhasari (Malang), Lamajang Tigang Juru (Lumajang), Baletar (Blitar), Mojopahit Lelono (Mojokerto), Jelajah Situs Pawitra, Jelajah Sejarah Budaya Pasuruan, Bol Brutu (Jawa Tengah). Bahkan ada 3 komunitas yang berlabel Majapahit yakni: Majapahit, Wilwatikta dan Surya Majapahit.
Di luar daftar di atas saya yakin masih puluhan (mungkin ratusan) komunitas-komunitas sejenis ini yang bertebaran di media sosial. Sebagai komunitas, tentu tidak ada syarat khusus menjadi anggotanya. Tak heran, jika anggota satu komunitas juga ikut di komunitas yang lain. Tapi masing-masing tetap menunjukkan jati dirinya, Masing-masing tampil dengan keunikan, style, dan aktivitas yang berbeda dan beragam.
Posting tentang segala sesuatu yang ada kaitannya dengan sejarah-budaya-arkeologi adalah aktivitas utama komunitas sejarah. Lalu disusul komentar dan diskusi.
Jika Thread Starter (TS)-nya menarik, unik atau bernilai news, maka pasti ramai komen-komen yang bermunculan. Tapi tetap saja, ada yang serius ada yang malah cengengesan. Untuk ini, semua anggota komunitas mahfum dengan kondisi seperti itu. Tak jarang pula, komen yang muncul menimbulkan pro kontra. Ini hal yang biasa.
Yang luar biasa adalah jika ada komen yang memberikan "tafsiran" baru di luar tafsiran mainstream yang beredar di buku sejarah. Misalnya: siapakah Bapak Ken Arok? Siapa kah orang tua Gajah Mada? Tentu tidak mudah menjawabnya. Maka muncul lah tafsir-tafsir baru. Baik yang berlatar prasasti, kitab sastra atau hanya sekedar penalaran. Bagaimana kebenaran semua itu?Jawabannya:Â sejarah masih membuka peluang siapa saja untuk menafsirkannya, karena sejarah bukan ilmu pasti yang kebenarannya mutlak. Jangankan pro dan kontra di kalangan komunitas, para pakar sejarah saja kadang masih berpolemik tentang tafsir sejarah sebuah objek.Â
Dengan latar belakang pendidikan, profesi dan pengalaman anggota yang beragam, mengikuti "diskusi" di grup komunitas akan memperkaya wawasan. Tapi sayangnya, ada komunitas yang kadang anggotanya memunculkan TS yang bernada SARA sehingga tidak nyaman untuk mengikutinya. Untungnya, adminnya dengan tangan besi segera bertindak: warning, delete, atau kick!
Blusukan
Salah satu aktivitas menarik dari komunitas sejarah adalah blusukan. Nah, sebut saja mereka para Blusuker. Ada kegiatan blusukan yang insidental. Ada yang memang direncanakan. Insidental maksudnya, begitu ada info tentang kekunaan yang perlu dikunjungi, tanpa ba bi bu ya langsung meluncur begitu saja.
Namun, sering kegiatan blusukan sudah diagendakan. Biasanya setiap periode tertentu di mana kebanyakan anggota komunitas banyak yang senggang. Tujuan hunting-nya bermacam-macam. Ke gunung tempat situs purbakala bertebaran. Ke kebun orang di mana ada peninggalan kuno. Jelajah hutan, sungai-sungai dan lain sebagainya. Termasuk ke museum tentunya. Hasilnya, pencerahan dan dokumentasi.
Tak jarang, para blusuker ini juga "menemukan" situs-situs yang belum teregistrasi di BPCB (Balai Penyelamat Cagar Budaya). Maka mereka membantu mencatat, memotret dan melaporkannya. Sering pula, para blusuker membantu menginformasikan keberadaan situs-situs yang perlu perawatan lantaran tidak ada juru peliharanya. Sungguh salut dengan para blusuker ini.
Tidak sekedar jalan-jalan, salah satu aktivitas penting kaum pecinta sejarah ini adalah Sinau Bahasa Jawa Kuno. Misalnya yang dilakukan oleh Komunitas Tapak Jejak Kerajaan di Museum Tantular Sidoarjo atau Komunitas Sutasoma di Museum Majapahit Mojokerto.
Sinau Bahasa Jawa Kuno yang digelar oleh komunitas Tapak Jejak Kerajaan yang digawangi oleh dokter Sudi Hardjanto dan Mbak Ekarici ini menghadirkan seorang relawan pakar Bahasa Jawa Kuno bapak Goenawan Sambodo sebagai pengajar. Sering dipanggil Mbah Gun oleh para anggota komunitas. Hasilnya luar biasa. Banyak anggota yang mampu membaca angka tahun di prasasti batu yang banyak bertebaran di beberapa situs. Kemampuan membaca (meraba) angka tahun sangatlah penting karena akan membawa kepada informasi awal kapan sebuah prasasti (batu) dibuat dan oleh siapa!
Cetak buku
Kiprah komunitas sejarah-budaya-arkeologi lain yang patut dicungi jempol adalah menulis reportase. Reportase dari para blusuker adalah pelaporan orisinal dan faktual tentang keberadaan situs-situs sejarah yang tidak semua orang tahu. Dengan adanya reportase tentang situs-situs ini diharapkan masyarakat luas akan lebih paham bahwa masih banyak warisan leluhur yang perlu dilestarikan. Termasuk memberikan pembelajaran pada generasi muda.Â
Reportase yang bertebaran di media sosialpun akhirnya dikumpulkan, diedit maka dibuatlah sebuah buku. Seperti yang sudah dilakukan komunitas Bol Brutu yang menerbitkan buku berjudul Arca.
Komunitas sejarah adalah sebagai salah satu pilar penting penyelamat cagar budaya. Dengan informasi aktual dan faktual di lapangan, sering memberikan masukan kepada pihak terkait tentang kerusakan-kerusakan cagar budaya yang dilakukan dengan sengaja oleh oknum yang sekedar mencari keuntungan sepihak. Bahkan dengan keberanian para anggota komunitas ini beberapa situs-situs penting dan artefak-artefak peninggalan arkeologi dapat diselamatkan. Walau kadang harus siap berhadap-hadapan dimuka sidang pengadilan.
Begitulah, sekelumit kisah komunitas pegiat sejarah-budaya-arkeologi yang bekerja dalam senyap. Mereka benar-benar pejuang sejati tanpa pamrih! Mereka adalah nyata. Tentunya, potensi ini harus dan perlu segera disambut dan ditindaklanjuti dengan segera oleh pihak terkait. Terutama Kemendikbud melalui Direktur Jenderal Kebudayaan dan Direktorat Sejarah. Apa yang harus dilakukan? Tentunya mereka lebih paham daripada saya!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H