Siang itu, selepas Ketapang, Banyuwangi, saya dan rekan-rekan melaju di jalur Pantura yang cukup lengang. Menyusuri jalanan dengan view Laut Jawa di sisi kanan jalan. Anginnya sepoi-sepoi. Ombaknya tidak menggelegak. Rencananya, sebelum pulang ke rumah yang berjarak 200 kilometer lagi, kami akan mampir ke Taman Nasional Baluran.Â
Kami penasaran. Kok katanya ini adalah Africa Van Java.Ada pula yang menyebut Little Africa. Maka, dengan melaju cepat, tapi tetap waspada, tak sampai 2 jam dari Banyuwangi, kami tiba di Kecamatan Banyuputih, Situbondo. Ini sepertinya perbatasan antara kedua kabupaten di ujung timur pulau Jawa ini. Setelah melewati sebuah tikungan ada sebuah gerbang yang tidak begitu mencolok di kanan jalan. Itulah gerbang Taman Nasional Baluran.
Sesaat setelah memasuki pintu gerbang , yang kami kira kompleks militer, kami diarahkan parkir di depan sebuah teras pendopo kecil oleh seorang petugas. Tempat itu adalah Pusat Informasi sekaligus tempat pembelian tiket. Ada papan data tetang Taman Nasional Baluran beserta objek-objeknya. Setelah urusan tiket dan toilet selesai, kami berlima pun melaju perlahan. Menyusuri jalanan selebar kurang lebih lima meter.Â
Fisik jalan adalah bekas aspal yang mengelupas di sana sini. Membelah hutan Baluran yang mulai meranggas. Cuaca sangat panas. Maklum musim kemarau. Pohon-pohon tak begitu rimbun. Semak juga jarang-jarang. Banyak sulur-sulur yang mengering. Kalau sesuai informasi papan data tadi, ini masuk kawasan Hutan Musim. Karena kemarau, tak heran banyak yang mulai meranggas. Nama Baluran, diambil dari nama gunung kecil yang ada di sekitar hutan.
EVERGREEN
Selepas empat kilometer pertama jalan masih bersahabat. Tapi setelahnya, jalan bergelombang-gelombang. Ada yang berlubang-lubang. Kadang harus memilih ke kanan atau ke kiri. Sesekali berpapasan dengan mobil dan motor yang meninggalkan debu beterbangan. Setelah melewati kawasan yang agak meranggas tadi, nampak di depan mulai teduh. Pohon-pohon rimbun berdiri. Semak-semak juga tumbuh subur.Â
Nuansanya jadi hijau, segar dan asri. Vegetasi hutannya sedikit berbeda dengan saat pertama masuk tadi. Kali ini, vegetasinya khas hutan tropis. Ternyata kami sampai di kawasan Evergreen Forest. Hutan lebat yang selalu hijau sepanjang tahun. Walaupun musim kemarau sekalipun. Saat sedang memilih jalan untuk dilalui, kami sedikit dikagetkan dengan seekor ayam hutan yang terbang melintas di tengah jalan, yang tiba-tiba muncul dari rerimbunan.
Setelah hampir setengah jam bergoyang-goyang, lantaran jalan tidak semakin bagus, kami tiba di kawasan yang semaknya mulai jarang-jarang. Pohon-pohon pun bisa dihitung dengan jari. Makin ke depan, semak semakin hilang. Berganti dengan sebuah padang terbuka, yang terhampar di kanan kiri jalan. Jalanan makin berdebu. Inilah kawasan Savanah Bekol.Â
Karena musim kering, padang savanah yang mestinya berumput hijau, hanya menyisakan rumput kering kecoklatan dan tanah hitam kering berdebu serta kerikil. Nampak sekelompok monyet berteduh, berkelompok di bawah naungan pohon kering. Tidak hanya satu kelompok. Banyak kelompok sepanjang jalan. Sambil terus melaju pelan dan menikmati pemandangan, sesekali kami lemparkan cuilan makanan ringan ke kerumunan monyet-monyet liar kurus yang sepertinya perlu tambahan nutrisi.
Benar ternyata, nuansa Afrikanya yang gersang, kering, berpohon jarang mulai nampak. Tiba di sebuah belokan ada rest area. Ada bangunan-bangunan berderet. Mungkin semacam homestay. Saya keliling sebentar, tapi kesulitan mencari toilet. Akhirnya, saya kembali ke mobil dan ambil satu biji Buah Naga seukuran 2 kiloan. Saya lemparkan ke sekelompok monyet yang sedari tadi memandangi sejak kami datang. Dengan gesit, monyet yang paling besar menangkapnya. Tentu saja tidak dibagi rata. Tapi dibawa lari dengan cepat ke sebuah bukit kecil. Dasar monyet!
Di tengah terik mentari, saya melihat sekeliling area Savanah Bekol yang lumayan luas. Di beberapa titik ada semacam kubangan-kubangan dan tempat memberi makan hewan. Kata petugas, kalau musim kering begini, hewan-hewan liar akan keluar dari hutan untuk mencari makanan dan air ke savanah.Â
Sayangnya, kami datang saat sedang terik-teriknya mentari sehingga tak seekorpun dari Banteng,Kerbau Liar, Kijang, Rusa, Kancil atau Merak yang mendekat. Saran petugas, kalau datang ke Bekol, sebaiknya pagi buta. Selain sunrisejuga dapat momen ketemu binatang liar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H