Candi merupakan bangunan sisa jaman klasik (Hindu-Budha). Mula-mula dianggap sebagai bangunan pemakaman. Pendapat ini awalnya dilontarkan Raffles dalam bukunya “History of Java” yang selanjutnya diikuti oleh arkeolog seperti: Brumund, Leemans, P.J Veth sampai Stutterheim.
Dr. Stutterheim berpendapat candi adalah monumen pemakaman dimana abu jenazah raja disimpan dalam peti batu (peripih) yang diletakkan di sumuran (lubang) dalam bilik candi. Di atas sumuran itu didirikan arca perwujudan raja yang bentuknya disesuaikan dengan agama yang dianut sang raja, apakah Hindu atau Budha. Ada kepercayaan bahwa raja adalah titisan dewa, sehingga saat meninggal akan kembali ke dewa penitisnya.
Meski raja telah meninggal, rakyat tetap dapat berhubungan dengan raja melalui media bangunan suci yang dikenal sebagai candi. Jadi, selain sebagai makam, candi juga berfungsi sebagai bangunan suci tempat pemujaan. Apabila rakyat ingin mengadakan interaksi dengan raja, diadakan upacara pemujaan di candi. Berputar mengelilingi candi serarah jarum jam atau berlawanan jarum jam. Harapannya patung dewa yang ada dalam candi akan “hidup” karena arwah sang raja turun dari kayangan dan hadir dalam upacara.
Pendapat candi sebagai makam raja, ditentang oleh Prof. Sukmono. Candi bukanlah tempat makam raja atau meletakkan abu jenazah raja, karena tak ada bukti di dalam peripih ada abu jenazah dimanapun di Indonesia ada abu jenazah manusia di dalam peripih, tak terkecuali di Candi Jawi.
Kebiasaan agama Hindu, seperti yang sampai saat ini berkembang di pulau Bali, bila seseorang (raja) wafat, maka mayatnya dibakar dan abunya dihanyutkan ke laut atau sungai. Kebiasaan menyimpan sebagian atau seluruh abu jenazah di candi atau pura tidak pernah ditemukan. Jadi, dapat disimpulkan, Candi Jawi bukanlah makam Kertanegara melainkan tempat “pendharmaan” Raja Kertanegara dari Singosari.
ARSITEKTUR
Candi Jawi dalam kitab Negara Krtagama disebut Jawa-Jawa atau Jajawa. Termasuk candi dengan langgam Jawa Timur. Boleh dibilang contoh terbaik candi khas Jawa Timur. Arsitekturnya bercorak kuna muda dengan ciri khas: bentuk bangunannya terdiri dari kaki candi, tubuh candi serta atap candi. Kaki candi bertingkat dua dengan selasar berundak di depan candi. Bentuk bangunannya tinggi, ramping dengan susunan atap meruncing ke atas.
Candi ini dibangun dengan pintu masuk di sebelah timur. Ini sangat berbeda dengan lazimnya candi di Jawa Timur yang menghadap ke Barat! Pembangunnya sudah merancang, bahwa di belakang candi adalah view dari Gunung Penanggungan (PAWITRA). Diperkirakan ukurannya: 14,20 m x 14,20 m x 24,5 0 m. Candi berdiri di atas batur (tanah yang ditinggikan) dikelilingi pagar yang luas. Candi ini berdenah bujur sangkar dengan penampil di keempat sisinya,
Kaki candi terbuat dari batu andesit yang di dindingnya dipahatkan tipis-tipis relief yang menggambarkan suatu rangkaian cerita. Walaupun identifikasi ceritanya belum jelas namun para ahli memperkirakan urutan cerita sesuai dengan jalan Pradaksina (candi di sebelah kanan saat dilewati).
Di sekeliling candi terdapat kolam panjang 54 m, lebar 3,50 m dan kedalaman 2 m yang terbuat dari bata merah dengan ketebalan tembok kolam 0,90 m. Pada musim tertentu, bunga teratai, yang sering dipahatkan sebagai alas arca jaman Singosari Majapahit, tumbuh subur bermekaran atas kolam. Indah dipandang.
Tubuh candi yang ramping terbuat dari susunan batu putih (tufa) dengan relung-relung, di keempat sisinya. Tiap relung dihias Kepala Kala sebagai ambang atas. Di depan relung Timur ada tangga naik. Di kanan kiri relung ini ada relung yang ukurannya lebih kecil. Sebuah bingkai (sabuk) persegi mendatar tampak melilit ditengah tubuh candi. Di atas tubuh candi berjajar pilaster-pilaster. Makin ke atas makin kecil.
Di belakang candi ada susunan bangunan yang sudah runtuh. Bentuknya mirip-mirip gapura bentar yang terbuat dari Bata Merah. Apakah ini pintu masuk ke Candi Jawi atau pintu masuk ke bagian lain kompleks candi, sampai saat ini belum jelas keberadaannya.
Kemudian ada jajaran list mahkota yang makin mengecil membentuk susunan atap. Di tengah list dan sudut-sudutnya diberi hiasan antefik berukir berupa hiasan “Mata Satu”. Diperkirakan relung Candi Jawi dulunya berisi arca Ardhanari, Durga, Siwa Guru, Ganesa, Mahakala dan Nandiswara. Beberapa arca ini kabarnya tersimpan di Museum Tantular, Sidoarjoi. Bahkan Arca Jokodolok di Surabaya, konon dulunya juga berasal dari Candi Jawi.
Atap candi bertingkat tiga puncaknya berbentuk kubus yang di atasnya terdapat Stupa/Genta (Dagob). Bentuk Kubus mengambarkan agama Hindu. Sedangkan Stupa menggambarkan agama Siwa Budha. Tak heran banyak yang menyebut, Candi Jawi adalah contoh khas bangunan suci perpaduan Hindu Budha di tanah Jawa. Seperti halnya tubuh candi, atap juga didominasi oleh batu putih.
Adanya perbedaan jenis batuan candi oleh para ahli diperkirakan Candi Jawi dibuat pada masa yang berbeda atau pernah dipugar waktu sebelumnya. Dalam NEGARA KERTAGAMA PUPUH 57: yang isinya tahun saka 1253 (1331 M), menjelaskan Candi Jawi disambar petir sehingga atapnya runtuh.
Sedangkan batu candi yang ditemukan saat penelitian berangka tahun 1254 saka (1332 M), artinya setelah disambar petir candi dipugar setahun kemudian. Dalam berita Negara Krtagama juga disebutkan, Hayam Wuruk, sepulang dari Lumajang dan Malang, dengan rombongan besarnya mampir ke Candi Jawi, seperti yang dituliskan Prapanca. Agaknya keberadaan Candi Jawi sangat berkesan bagi sang Prabu.
Di era modern, pemugaran Candi Jawi dilakukan sekitar tahun 1938-1940. Sedangkan bentuk candi yang saat ini begitu eksotis, mempesona adalah hasil pemugaran tahun 1983.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H