Lumajang, bernama kuno Lamajang. Tercatat dalam sejarah klasik pernah dikunjungi Prabu Hayam Wuruk sehingga terciptalah Kakawin Negara Krtagama. Di masa sebelum Hayam Wuruk, Lumajang pernah menorehkan sejarah yang berakhir kelam. Balatentaranya harus berjuang habis-habisan dipimpin Nambi melawan balatentara Majapahit lantaran ada perselisihan dan intrik diantara para kastria dan pendiri Majapahit. Diawali runtuhnya benteng Lumajang di Pajarakan dan Gending sampai akhirnya kota Lumajang pun luluh lantak.
Kini, Lumajang juga menjadi berita. Salim Kancil, warga Lumajang, seorang petani yang aktifis penentang penambang liar dianiaya dan dibunuh oleh sejumlah oknum pro tambang secara keji dan kejam. Sungguh sangat memprihatinkan. TKP nya di Selok Awar-awar, sebuah desa di Pasirian Lumajang yang mempunyai pantai berpasir hitam. Gara-gara pasir inilah tragedi Lumajang bermula.
Setahun lalu saya sempat blusukan ke Selok Awar-awar, Kecamatan Pasirian. Seperti biasanya, memenuhi rasa penasaran akan ombak dan semilir di deretan pantainya.
Setelah kurang lebih menempuh jarak 18 kilometer dari pusat kota Lumajang ke arah Selatan, saya tiba di sebuah lokasi yang aspalnya berdebu. Lokasinya agak terpencil. Di sebuah ujung ada perempatan. Nampaknya ada sebuah jalan baru yang sedang dibangun. Lebarnya lebih dari 8 meter. Dilihat dari cirinya, ini termasuk bagian dari JLS (Jalur Lintas Selatan) yang menghubungkan Pacitan – Malang – Lumajang – Banyuwangi.
Saat bertanya, oleh warga, saya diarahkan lurus ke sebuah jalan yang sangat berdebu dan sepi. Tidak mengikuti jalan JLS. Inilah akses ke Pantai Watu Pecak. Untung kanan kirinya masih ada pepohonan hijau sehingga perjalanan tidak membosankan. Di sebuah pertigaan saya berhenti. Ada banner yang mencuri perhatian. Ternyata isinya Site Plan (Denah) pengembangan objek wisata Pantai Watu Pecak.
Pasir Hitam
Jujur selama ini saya penasaran dengan pantai Lumajang. Selama ini namanya tenggelam di bawah deretan “pemilik” pantai selatan Jawa. Padahal bertetangga dengan Jember di sebelah Timur dan Kabupaten Malang di sebelah Barat. Kedua kabupaten ini pantainya terkenal sangat eksotis. Mestinya Lumajang juga punya pantai elok dan berkarang.
Maka, sesaat setelah memarkir kendaraan saya bergegas berjalan menuju pantai yang masih berjarak seratus meteran. Saya agak berjingkat berjalan di pasir pantai yang kering dan panas. Lamat-lamat saya dengar deburan ombak khas pantai selatan. Bergelora dan menggelegak. Begitu tiba di pantai, rasa penasaran pun terbayarkan.
Nah, pasir hitam inilah yang menjadi asal muasal tragedi Lumajang. Salim Kancil dan Tosan adalah aktifis yang begitu getol menolak penambangan pasir liar di sepanjang pantai Watu Pecak. Saat saya ke Watu Pecak, memang ada beberapa ibu yang sedang bekerja menambang pasir secara tradisional. Mengayak (menyaring) pasir-pasir di pantai yang kemudian dimasukkan ke dalam karung-karung kecil. Saat saya tanya, harga per karungnya rata-rata hanya seribu rupiah. Artinya penghasilan mereka hanya berkisar 25 ribu–30 ribu per hari, lantaran dalam sehari rata-rata hanya mampu mendapatkan 30 karung.
Bahkan, jika dibiarkan penambangan pasir illegal ini dalam kurun waktu tertentu akan merusak ekosistem pantai. Jika pasir pantai terkuras, bahaya abrasi akan sangat membahayakan pemukiman dan areal persawahan. Bisa jadi akumulasi permasalahan ini makin meruncing tatkala munculnya konspirasi, kongkalikong berkedok pembangunan kawasan wisata pantai hanya untuk memuluskan ijin.
Tapi ujung-ujungnya bukan pembangunan kawasan wisata tapi ulah rakus penambangan liar. Tak terelakkan lagi, konflik pun muncul ke permukaan. Semoga Salim Kancil mendapat tempat terbaik di sisi-Nya dan perjuangannya akan mendapat perhatian dari semua pihak demi menyelamatkan ekosistem pantai Lumajang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H