Mohon tunggu...
Teguh Hariawan
Teguh Hariawan Mohon Tunggu... Guru - Traveller, Blusuker, Content Writer

Blusuker dan menulis yang di Blusuki. Content Writer. "Menyurat yang Silam, Menggurat yang Menjelang " : (Nancy K Florida)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pak Menteri, Jangan Lupakan Sekolah Swasta (Renungan Pendidikan Setelah 70 Tahun Indonesia Merdeka)

9 Agustus 2015   13:45 Diperbarui: 9 Agustus 2015   13:46 542
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

“Pendidikan bukan segala-galanya, tetapi tanpa pendidikan kita akan kehilangan segalanya.” Demikian untaian kata yang terpajang di gerbang sekolah saya. Harapannya, siapapun yang melewati gerbang itu akan membaca dan meresapi maknanya.  Karena sejarah sudah memberikan banyak pelajaran akan nasib suatu bangsa yang tidak berpendidikan.  Niscaya akan jadi bangsa terjajah. Terjajah secara fisik, mental bahkan spiritual.!

Melawan Lupa

Sudah 70 tahun negeri tercinta ini memproklamasikan kemerdekaannya. Selain perjuangan fisik, tentunya proklamasi itu juga diperoleh karena telah lahir dan bangkit generasi-generasi muda yang mengenal dan mengenyam pendidikan.

Di jaman Pra Kemerdekaan, begitu sulitnya bagi pemuda-pemudi Indonesia berkesempatan memperoleh pendidikan. Sekolah-sekolah yang didirikan oleh penjajah (Belanda), salah satunya di tingkat dasar adalah ELS (Europeesche Lagere School) yang  hanya diperuntukkan kalangan terbatas, yakni  warga Eropa, bangsawan dan Tionghoa. Rakyat jelata jelas tidak berkesempatan belajar sama sekali. 

Untungnya ada RM. Soerjadi  Soeryaningrat, seorang keturunan darah biru, walau  mengenyam pendidikan ala kolonial namun nasionalisme tetap terjaga. Di Yogyakarta, tanggal 3 Juli 1922,  beliau mendirikan Perguruan Taman Siswa yang awalnya bernama “National Onderwijs Institut Taman Siswa”. Tujuannya, mewujudkan manusia Indonesia lahir batin. Bebas dari penjajah baik secara fisik dan mental. Jalur yang dipilih adalah PENDIDIKAN!

Menjelang masa-masa kemerdekaan, semakin banyak dibuka sekolah-sekolah yang memberi kesempatan luas bagi rakyat jelata (pribumi) untuk mengenyam pendidikan. Diantaranya pendidikan di Pesantren. Termasuk pula lembaga-lembaga pendidikan yang dikelola Ormas berbasis agama maupun yayasan-yayasan yang didirikan secara mandiri oleh swasta (partikelir), baik perorangan maupun kelompok. Artinya  di masa sebelum dan setelah kemerdekaan kontribusi sekolah-sekolah swasta dalam mencetak sumber daya manusia sangat besar dan tercatat dalam tinta emas dalam sejarah perkembangan pendidikan di Indonesia!

  Pendidikan Setelah 70 Tahun Kemerdekaan

Begitu bangsa ini memperoleh kemerdekaannya, maka seiring waktu  berdiri  menjamur lembaga-lembaga pendidikan baik yang didirikan oleh pemerintah maupun swasta. Kita  masih ingat saat awal Orde Baru ada namanya SD INPRES yang didirikan di hampir seluruh penjuru tanah air.  Diikuti dengan berdirinya sekolah-sekolah lanjutan dan perguruan tinggi. Semuanya bertujuan sama. Memberikan kesempatan belajar dan mewujudkan sumber daya manusia Indonesia yang handal. Boleh dikata, saat ini hampir di seluruh pelosok tanah air sudah menikmati fasilitas layanan pendidikan, dengan banyaknya sekolah-sekolah negeri yang didirikan oleh pemerintah.

Sayangnya, saat ini di tingkat lokal/ regional, dengan  menjamurnya sekolah-sekolah negeri ternyata menjadi ancaman serius bagi sekolah swasta yang nota bene sudah berdiri dan berkontribusi  terlebih dahulu di daerah itu. Di media sering kita baca, sejak 5 tahun terakhir, banyak sekolah-sekolah swasta yang jumlah muridnya menurun drastis. Bahkan ada yang kolaps. Karena tidak dapat murid. Ini kebanyakan dialami sekolah lanjutan (SMA), walau tidak menutup kemungkinan juga dialami sekolah-sekolah di tingkat dasar (SD dan SMP) swasta.

 Persoalan kolapsnya sekolah-sekolah swasta ini memang ada banyak sebab. Baik itu dari internal sekolah maupun eksternal. Bisa jadi karena pengelolaan sekolah yang buruk, manajemen asal-asalan, tidak berorientasi pada peningkatan mutu sehingga masyarakat pun meninggalkannya. Ini terlihat, karena sekolah-sekolah swasta yang eksis dan muridnya banyak dikelola dengan serius dengan manajemen modern.

Namun, persoalan eksternal yang paling mengancam keberadaan sekolah swasta adalah: Tiap tahun di sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah (sekolah negeri) selalu dibangun Ruang Kelas Baru (RKB). Tiap tahun pula, kuota (pagu) penerimaan siswa baru di sekolah-sekolah tersebut selalu bertambah. Memang, jumlah peserta didik tiap tahun bertambah, namun perlu hitungan jelas agar antara siswa yang  melanjutkan dan kebutuhan ruang kelas baru (RKB) benar-benar seimbang dan proporsional.

Bolehlah, kebijakan ini merupakan kebijakan di tingkat lokal (Kabupaten/Kota/ Provinsi), namun tidak terlepas dari kebijakan pemerintah pusat juga. Lantaran sumber dana pembangunan fisik sekolah negeri juga banyak yang berasal dari pusat. Baik yang bersifat Block Grant  maupun Dana Alokasi Khusus (DAK).

Dikotomi Negeri Swasta

Melihat jejak sejarah pendidikan di negeri ini, sudah sepatutnya tidak ada lagi dikotomi antara sekolah swasta dan sekolah negeri.  Jika sekolah-sekolah plat merah (sekolah negeri) diberi kesempatan untuk maju dan besar, sudah sepantasnya sekolah swasta juga diberi kesempatan yang sama. Ini tidak lepas dari validitas data yang ada di lapangan  yang seharusnya dipunyai dan dicermati oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Terutama  data Angka Partisipasi serta  Angka Transisi dalam kaintannya dengan pengadaan RKB (Ruang Kelas Baru). Artinya, jika di suatu daerah  jumlah ruang kelas sudah mencukupi, tentunya tidak perlu tiap tahun membangun ruang kelas baru. Karena jika tanpa kendali, di satu sisi, sekolah-sekolah plat merah jumlah ruang kelasnya makin bertambah, sekolah-sekolah swasta ruang kelasnya makin banyak yang kosong.

Negeri Minded

Banyak sekolah swasta yang sudah dikelola dengan baik. Manajemen modern. Berbiaya lebih murah dari sekolah negeri. Bahkan prestasinya tidak kalah dengan sekolah negeri. Mengapa masih kurang diminati masyarakat? Jawabnya simpel: Negeri Minded.  Sebagian masyarakat masih beranggapan status negeri adalah pilihan pertama dibanding sekolah swasta yang berkualitas!!

Agaknya, Pak Anies Baswedan selaku Menteri Pendidikan dan kebudayaan, tidak boleh melupakan keberadaan sekolah-sekolah swasta ini. Mereka adalah pioneer-pioner pendidikan di negeri ini. Tanpa sekolah swasta mungkin pencapaian kemerdekaan tidak akan “secepat” itu. Saya sangat percaya, pak Menteri yang sudah banyak menggebrak dan memberi angin segar di dunia pendidikan ini ke depan akan sangat memperhatikan keberadaan sekolah-sekolah swasta di negeri tercinta ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun